PARBOABOA, Jakarta - Sejak era presiden Joko Widodo (Jokowi), terminologi pendidikan karakter mulai dikenal luas oleh seluruh masyarakat.
Secara historis, demikian singgung Ajat Sudrajat (2011), pendidikan karakter sesungguhnya memiliki usia yang sama dengan pendidikan itu sendiri.
Meski istilahnya baru populer beberapa tahun terakhir di Indonesia, konsep pendidikan karakter sudah lama diterapkan di berbagai belahan dunia.
Suyata (2011), misalnya menyatakan bahwa selama dua puluh tahun terakhir, Amerika Serikat (AS) lebih sering menggunakan istilah "pendidikan moral."
Sementara itu, di Asia orang lebih cenderung menggunakan istilah "pendidikan karakter" untuk menyebut model pendidikan yang menekankan moralitas.
Di Inggris, istilah yang digunakan adalah "pendidikan nilai". Sedangkan di Indonesia, kita mengenal istilah pendidikan budi pekerti dan pendidikan moral Pancasila.
Secara global, pendidikan memiliki dua tujuan utama, yakni membantu manusia menjadi cerdas (smart) dan menjadi orang yang baik (good).
Mendidik seseorang agar cerdas bisa jadi lebih mudah daripada membuatnya menjadi baik dan bijak.
Hal tersebut disebabkan karena moral sering kali lebih kompleks. Persoalan moral menjadi alasan utama mengapa pendidikan karakter sangat penting.
Di Indonesia, penurunan kualitas moral di kalangan siswa menjadi alasan mendesak untuk menyelenggarakan pendidikan karakter.
Sekolah bertanggung jawab menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, kejujuran, kepedulian, dan keadilan.
Tujuannya, singgung Sudrajat adalah membantu siswa untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka.
Pengertian Karakter
Kata "karakter" berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti melukis atau memahat.
Secara etimologis, karakter diartikan sebagai tanda atau ciri khusus yang mencerminkan pola perilaku individu dan kondisi moral seseorang.
Menurut Kevin Ryan (1999), karakter yang baik mencakup tiga aspek, yakni mengetahui yang baik (knowing the good), mencintai yang baik (loving the good), dan melakukan yang baik (acting the good).
Orang lahir dalam keadaan bodoh dan dipengaruhi oleh dorongan primitif. Pola asuh dan pendidikan yang baik seseorang mencapai kualitas diri yang beradab.
Mengetahui yang baik berarti bisa membedakan antara yang baik dan buruk, memilih yang baik, dan melakukannya.
Filsuf Aristoteles menyebutnya dengan istilah "kebijakan praktis" (practical wisdom), yaitu kemampuan merencanakan dan mengambil keputusan yang baik dalam berbagai situasi.
Pendidikan Karakter
Lickona mendefinisikan pendidikan karakter sebagai usaha sengaja untuk membantu seseorang memahami, memperhatikan, dan mempraktikan nilai-nilai etika.
Pendidikan karakter melibatkan tiga aspek utama, yakni pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action).
Pertama, moral knowing mencakup kesadaran moral, pengetahuan moral, kemampuan melihat dari perspektif lain, alasan moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan diri.
Kedua, moral feeling meliputi kesadaran, penghargaan diri, empati, mencintai yang baik, kontrol diri, dan kerendahan hati.
Perasaan moral dianggap penting karena mengetahui yang benar tidak selalu berarti bertindak benar.
Ketiga, moral action adalah hasil dari pengetahuan dan perasaan moral. Tindakan moral mencakup kompetensi, kemauan, dan kebiasaan baik.
Pendidikan karakter harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kebiasaan baik kepada orang lain dari berbagai latar belakang.
Alasan Perlunya Pendidikan Karakter
Thomas Lickona (1991) dalam bukunya berjudul Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility menyebutkan tujuh alasan pentingnya pendidikan karakter.
Alasan pertama, pungkasnya adalah menjamin anak memiliki kepribadian yang baik. Pendidikan karakter melatih kepekaan hati anak untuk berbuat baik dan menjauhi kejahatan.
Selanjutnya, pendidikan karakter juga berdaya meningkatkan prestasi akademik anak. Pribadi yang memiliki karakter baik cenderung menjadi pribadi yang prestisius.
Alasan ketiga adalah membentuk karakter siswa di tempat lain di mana pribadi tidak diajarkan pendidikan karakter.
Keempat adalah menghormati keberagaman. Lickona menemukan, pendidikan karakter memiliki orientasi pada penghargaan atas perbedaan.
Hal berikut yang menjadi alasan adalah mengatasi problem moral-sosial seperti ketidaksopanan dan kekerasan.
Belakangan, ketidaksopanan dan kekerasan menjadi masalah besar yang sering dijumpai dalam kehidupan.
Anak-anak yang bersekolah ternyata berbalik arah sebagai figur yang mengkhawatirkan. Mereka tidak mampu mempraktikkan tindakan etis yang benar dalam perilaku sopan santun dan ramah tamah.
Sebaliknya, mereka kerap menjadi aktor yang menimbulkan kegaduhan dalam lingkungan masyarakat.
Alasan keenam adalah mengasah perilaku. Lickona percaya bahwa di dalam diri manusia tertanam sikap etis untuk berbuat baik.
Dengan pendidikan karakter, sikap etis seseorang digali dan dikembangkan agar membawah kebaikan dalam kehidupan bersama.
Alasan terakhir adalah mengajarkan nilai-nilai budaya sebagai bagian dari peradaban. Pendidikan karakter umumnya bersumber dari nilai-nilai kebudayaan.
Dengan mempraktikkan perilaku baik di tengah masyarakat, siswa turut berkontribusi untuk pembangunan budaya.
Sampai di titik ini, pendidikan karakter bersinergi membantu siswa memahami dan mempraktikkan nilai-nilai etis dalam kehidupan, bahkan di tengah tantangan sekalipun.