PARBOABOA, Jakarta - Gibran Rakabuming Raka rupanya masih menjadi kader PDIP meskipun sudah dipinang Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
Sejumlah kabar berhembus, Gibran bakal dipecat dari keanggotaan partai. Namun, hingga saat ini, PDIP belum juga mengeluarkan keputusan resmi terkait status wali kota Solo itu.
Ketua PDIP Puan Maharani sebelumnya mengakui bahwa Gibran telah pamit untuk menjadi cawapres Prabowo. Namun, kata Puan, putra sulung Presiden Jokowi itu belum menyerahkan KTA dan menyatakan pengunduran diri secara resmi.
Puan juga sedikit diplomatis ketika disinggung soal apakah Gibran otomatis keluar dari PDIP setelah menjadi cawapres Prabowo.
"Kan waktu itu masih diusulkan jadi jurkam dari PDIP, tapi setelah menjadi cawapresnya Mas Prabowo nggak mungkin jadi jurkam," kata Puan di markas TPN Ganjar, Jakarta Pusat, Rabu (25/10/2023).
Status kepartaian Gibran memang ramai disorot setelah dirinya resmi mendampingi Prabowo Subianto sebagai cawapres pada Pilpres 2024.
Mengingat, sebelum merapat ke gerbong Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi pendamping Prabowo, Gibran masih menjadi kader aktif PDIP.
Sementara, PDIP sendiri sudah secara resmi menyatakan dukungan ke Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai capres dan cawapres untuk bertarung di Pilpres mendatang.
Analis politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang, membaca dinamika ini dalam konteks regulasi internal partai berlambang banteng moncong putih itu.
Menurutnya, PDIP sebagai partai yang selama ini menjadi kendaraan politik Gibran, tentu memiliki aturan main dan prosedur pemecatan kader.
Ia menjelaskan, jika langkah Gibran menjadi cawapres Prabowo mendapat restu dari Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, maka posisi Gibran tentu masih menjadi kader PDIP.
"Namun sebaliknya, keputusan Gibran menjadi cawapresnya Prabowo Subianto di luar sepengetahuan atau setidaknya belum mendapatkan ijin dari PDIP, maka hal ini sebagai sebuah pelanggaran etik dan konstitusi partai," kata Ahamad saat dikonfirmasi PARBOBOA, Rabu (25/10/2023) malam.
Terkait hal ini, Ahmad belum bisa memastikan sikap politik PDIP apakah akan memberikan teguran, pemecatan atau justru merestui langkah Gibran yang bergeser ke gerbong Prabowo.
PDIP, kata Ahmad, tidak akan gegabah dan menghitung ulang secara cermat sebelum mengambil keputusan soal nasib Gibran di PDIP.
"Menurut hemat saya, PDIP sangat hati-hati dalam mengambil langkah, karena Jokowi masih menjadi presiden," katanya.
Bagi Ahmad, sebagai sebuah strategi politik, publik tidak boleh terjebak dengan apa yang tampak di front stage tanpa mengetahui secara pasti hitung-hitungan politik di back stage.
"Apa yang tampak di depan publik terlihat PDIP gusar dengan langkah politiknya Gibran, namun apa yang terjadi di belakang layar, publik tidak menjangkaunya," kata dia.
Kendati demikian, Gibran perlu mengambil keputusan untuk meminimalisir bias interpretasi yang berkembang di publik.
"Jika Gibran merasa tidak nyaman dengan PDIP, maka langkah yang paling elegan adalah mengundurkan diri, semua tergantung Gibran dan PDIP sendiri," terang Ahmad.
Sementara itu, pengamat politik Ujang Komarudin menilai, kepastian terkait nasib Gibran tergantung sejauh mana komunikasi yang dibangun dengan PDIP.
"Itu soal komunikasi antara Gibran dan PDIP saja. Tentu akan dicarikan jalan terbaik," kata Ujang kepada PARBOBOA, pada Rabu (25/10/2023).
Menurut akademisi Univeristas Al-Azhar itu, PDIP tentu mempunyai prosedur internal partai sebelum memutuskan status keanggotaan Gibran.
"Pilihannya kan kalau nggak mundur dipecat. Tapi kita tunggu saja ya komunikasi antara Gibran dan Megawati, mungkin menunggu waktu juga. Itu kan harus ada pemanggilan terhadap Gibran, lalu ditanya dan sebagainya lalu diputuskan," terang Ujang.
Pada akhirnya, kata Ujang, publik hanya akan menunggu hasil keputusan PDIP terkait nasib Gibran setelah menjadi cawapres Prabowo.
"Kita tunggu saja personal komunikasi Gibran dan Megawati seperti apa, apakah Gibran mengundurkan diri atau dipecat. Itu hak dari Gibran dan hak dari PDIP juga," kata dia.
PDIP Bermain Dua Kaki?
Komunikolog Emrus Sihombing membaca hal ini dalam konteks Gibran sebagai suatu realitas politik yang selalu berpeluang untuk dipinang partai lain.
Karena itu, kata Emrus, sebagai politisi muda yang konsekuen, Gibran seharusnya berani memutusakan untuk segera mengundurkan diri dari PDIP.
"Sebaiknya secara satria Gibran yang justru mengajukan mundur diri partai awalnya," kata Emrus kepada PARBOBOA, Rabu (25/10/2023).
Emrus juga menyoroti soal PDIP yang dianggap bermain dua kaki lantaran belum mengeluarkan keputusan resmi terkait status Gibran.
Menurutnya, isu yang beredar tersebut tidak berdasar lantaran belum mengenal DNA politik PDIP secara komprehensif.
"Orang yang membangun narasi tersebut tidak paham betul karakter politik PDIP selama ini," kata Emrus.
Emrus mengatakan, secara ideoligis, PDIP punya pendirian politik yang tegas, sebab partai tersebut lahir dan dibesarkan dari sebuah perjuangan dan kerja keras.
"Karena itu, dari aspek komunikasi politik motif narasi yang dikembangkan oleh orang tersebut bertujuan menggiring opini publik untuk kepentingan politik pragmatis," tegas Emrus.
Ia menjelaskan, sebagai partai besar di Indonesia, PDIP mempunyai garis politik yang sangat jelas.
PDIP, kata Emrus, lahir sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru (Orba) yang otoriter.
"Tidak satu partaipun di Indonesia yang setegas dan seberani PDIP. Sebaliknya, bahkan tidak jarang beberapa partai politik menunjukkan politik pragmatisnya," papar Emrus.
Selain itu, Emrus melihat PDIP bukanlah partai yang berdiri di atas politik pragmatis. Hal itu, kata dia, bisa dilihat dari keputusan PDIP selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Lihat masa pemerintahan SBY dua periode, PDIP mengambil garis posisi yang tegas di luar pemerintahan ," kata Emrus.
"Karena itu, partai ini berani menjadi oposisi, dan mengabdi untuk rakyat ketika menjadi pemenang legislatif dan eksekutif, baik nenempatkan kadernya sebagai kepala daerah dan presiden," lanjut Emrus.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu juga menyentil Prabowo Subianto yang sebelumnya menjadi kompetitor Jokowi namun berbalik arah merapat ke Istana.
Pada Pilpres 2019, Prabowo menjadi rival Jokowi yang diusung PDIP. PDIP kemudian berhasil memenangkan Pilpres yang menghantar Jokowi menjadi Presiden dua periode.
"Probowo pun turun posisi dari kompetitor yang setara dengan Jokowi pada Pilpres 2019, rela dan serta merta menjadi pembantu Jokowi di pemerintahan," kata Emrus.
Bagi Emrus, sikap dan perilaku politik semacam ini hendak menunjukkan garis politik yang belum tegas secara ideologis.
"Sejatinya, Prabowo dan Partai Gerindra berada di luar kekuasaan sebagai oposisi bagi pemerintahan Jokowi. Sebab, peran oposisi sama mulianya dengan pemerintah bagi rakyat. Oposisi bisa melakuksn kontrol terhadap kekuasaan," terang Emrus.
Tetapi, kata dia, seringkali partai politik dan aktor politik tertentu memilih untuk "menghambakan diri terhadap kekuasaan."
Menurut Emrus, sikap dan perilaku politik semacam ini bisa merusak tatanan demokrasi Indonesia yang sudah diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa.
"Terutama gerakan mahasiswa tahun 1998 dengan tangisan dan air mata. Bahkan masih ada aktivis belum kita ketahui di mana rimbanya," kata Emrus.