PARBOABOA, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR RI dan pemerintah untuk menunda Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law.
Pernyataan ini disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan tertulis yang diterima oleh Parboaboa pada Rabu, 14 Juni 2023.
Adapun alasan dari penundaan ini yaitu, pembahasan RUU yang dilakukan secara tertutup dan tanpa melibatkan publik yang bermakna.
Padahal, kata mereka, melibatkan publik dalam suatu rancangan juga telah ada dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUUXVIII/2020.
“Bahkan bila tidak diakomodasi, masyarakat berhak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Hal demikian, tidak dilakukan oleh pihak pemerintah maupun DPR dalam merumuskan RUU Kesehatan,” kata mereka.
Alasan kedua, Koalisi Masyarakat Sipil menilai jika Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan tidak cukup menjelaskan urgensi mengapa diperlukan metode omnibus law dengan meleburkan 10 peraturan perundang-undangan.
“Karenanya, gagasan transformasi kesehatan yang digulirkan Kementerian Kesehatan melalui RUU Kesehatan ini perlu dikaji ulang secara komprehensif,” tuturnya.
Ketiga, RUU Kesehatan ini cenderung berpotensi memusatkan pasar kesehatan hanya di wilayah perkotaan sehingga membuat semakin luasnya kesenjangan akses layanan di daerah 3T (Tertinggal, Terluar, dan Terdepan).
Lalu, yang keempat yakni, RUU Kesehatan saat ini telah meniadakan alokasi minimal anggaran kesehatan yang dipotensi berdampak pada semakin minimnya dukungan anggaran untuk pelayanan kesehatan.
Dalam draft RUU versi DPR, dikatakan bahwa terlalu banyak belanja negara yang bersifat mandatory mengakibatkan kapasitas APBN/APBD menjadi sempit dan tidak fleksibel/inefisiensi.
“Kelima, sentralisasi tata kelola kesehatan oleh pemerintah pusat dapat mengurangi independensi pengetahuan di sektor kesehatan,” ucapnya.
Sementara itu, untuk alasan keenam adalah Koalisi Masyarakat Sipil menilai, penyusunan dan pembahasan RUU secara tergesa-gesa dan serampangan hanya akan membuang-buang sumberdaya negara yang sudah semakin terbatas.
Sedangkan untuk yang ketujuh, menurut mereka, RUU Kesehatan itu tidak cukup menjawab persoalan pelayanan kesehatan yang rentan akan korupsi serta berbagai bentuk fraud lainnya.
“Korupsi dan segala bentuk fraud adalah persoalan besar dalam pelayanan kesehatan,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan dari Koalisi Masyarakat Sipil, Sepanjang 2022, aparat penegak hukum sedikitnya telah menindak 27 kasus korupsi terkait kesehatan dengan kerugian negara mencapai Rp 73,9 miliar.
“Angka tersebut terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Di mana, kasus yang ditindak penegak hukum umumnya berkaitan dengan pembangunan puskesmas dan pengadaan alat kesehatan,” tandasnya.