PARBOABOA, Jakarta – Kasus pelecehan seksual semakin mengkhawatirkan di dalam lingkungan pendidikan, khususnya saat pelaku adalah seorang guru atau tenaga pengajar.
Salah satu contoh yang mencuat adalah insiden yang terjadi di Sekolah Dasar Negeri Pengadilan 2 di Bogor, Jawa Barat. Di sana, seorang guru berinisial BBS (30) diduga terlibat dalam pelecehan seksual terhadap 14 siswi.
Menurut Kepala SDN Pengadilan 2, Ida Widiawati, peristiwa tersebut sebenarnya terjadi tahun lalu, tetapi orang tua siswa baru melaporkannya ke sekolah pada Jumat, (08/9/2023).
Saat ini, pelaku berinisial BBS telah ditangkap oleh Kepolisian Resor Kota (Polresta) Bogor dan dijerat dengan Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak. BBS terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara serta denda sebesar Rp5 miliar.
Kasus lain yang sempat disorot adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru agama berinisial AM (33 tahun) di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Batang, Jawa Timur, terhadap 35 siswi. Dalam kasus ini, 10 di antaranya menjadi korban rudapaksa.
Menurut keterangan pelaku, dia melakukan tindakannya yang tidak senonoh ini antara Juni hingga Agustus 2022 dengan dalih mengadakan seleksi anggota OSIS.
AM menggunakan beberapa tempat, seperti ruang OSIS, ruang kelas, dan gudang mushala sekolah sebagai tempat untuk melakukan perbuatannya yang tercela.
Kini, pihak kepolisian telah berhasil mengamankan AM dan menjeratnya dengan Pasal 82 ayat (2) dan 81 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Menyikapi hal ini, seorang pengamat pendidikan, Doni Koesoema, menganggap perlu adanya kebijakan umum untuk melakukan asesmen psikologis terhadap para guru di satuan pendidikan.
Tujuannya adalah untuk mencegah orang dewasa yang memiliki preferensi seksual menyimpang agar tidak mengorbankan peserta didik.
Asesmen psikologis ini melibatkan tes psikologi dan wawancara guna menilai kemampuan individu dalam konteks penilaian potensi psikologis dan pengembangan staf pendidikan.
Doni juga menyarankan bahwa kebijakan serupa perlu diterapkan pada calon dosen, karena pelecehan seksual dapat terjadi di lingkungan kampus.
“Kampus juga harus mengikuti protokol PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) di kampus sesuai Permendikbudristek,” kata Doni kepada Parboaboa melalui pesan singkat, Senin (9/10/2023).
Selain itu, Doni menekankan pentingnya pendidikan seksualitas yang diajarkan oleh pendidik kepada para siswa.
Ia berpendapat bahwa siswa perlu diberi pemahaman tentang cara menghormati tubuhnya sendiri dan menghormati tubuh orang lain, serta bagaimana bersikap saat ada orang dewasa yang mencoba melakukan pelecehan.
Langkah Mencegah Pelecehan Seksual di Lingkungan Sekolah
Sebelumnya, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menyampaikan sejumlah tips yang dapat diterapkan untuk mencegah pelecehan seksual di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi.
Berikut langkah-langkahnya:
1. Menciptakan Lingkungan yang Aman:
Menciptakan lingkungan yang aman di sekolah atau perguruan tinggi sangat penting untuk mencegah kekerasan seksual.
Ini melibatkan pengawasan yang ketat, instalasi kamera pengawas, dan peningkatan kehadiran petugas keamanan.
Siswa dan mahasiswa harus merasa nyaman melaporkan situasi yang mencurigakan, tanpa takut mendapat hukuman atau pemerasan.
2. Pembelajaran Seksual (Sex Education):
Pendidikan seksual yang komprehensif dan terarah adalah kunci untuk mengurangi kekerasan seksual.
Program pendidikan seksual harus mencakup aspek-aspek penting seperti pengertian tentang batasan pribadi, persetujuan, dan pentingnya menghormati hak-hak orang lain.
Ini tidak hanya membantu meningkatkan kesadaran siswa/mahasiswa tetapi juga mengajarkan mereka cara menghormati satu sama lain.
3. Meningkatkan Keamanan Lembaga Pendidikan:
Lembaga pendidikan harus melibatkan para ahli dalam pengembangan kebijakan keamanan yang efektif.
Ini mencakup pelatihan staf dan siswa/mahasiswa tentang tanda-tanda kekerasan seksual, prosedur melaporkan kejadian, dan cara mendukung korban.
Sistem peringatan dini juga harus diimplementasikan untuk mengidentifikasi potensi pelaku kekerasan seksual sebelum terjadi tindakan yang lebih serius.
4. Seleksi Guru/Dosen yang Ketat:
Pemilihan guru dan dosen harus melibatkan pemeriksaan latar belakang yang ketat, termasuk pemeriksaan catatan kejahatan seksual.
Proses seleksi yang ketat ini dapat membantu menghindari perekrutan orang-orang dengan riwayat kekerasan seksual yang mungkin membahayakan lingkungan pendidikan.
5. Sanksi Berat terhadap Pelaku Pelecehan Seksual:
Penting bagi lembaga pendidikan untuk menetapkan sanksi yang berat terhadap pelaku kekerasan seksual.
Hukuman yang tegas dan sesuai dengan tingkat pelanggaran harus diberlakukan, termasuk pemecatan dan tuntutan hukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ini adalah langkah penting untuk menegaskan bahwa kekerasan seksual tidak akan ditoleransi dalam lingkungan pendidikan dan masyarakat pada umumnya.
Editor: Yohana