PARBOABOA, Simalungun - Tindakan percabulan mendominasi kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) di Simalungun.
Kasus ini sering terjadi di kalangan pasangan remaja yang menjalin kedekatan hingga berujung pada persetubuhan di luar pernikahan.
Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Kejaksaan Negeri Simalungun, Yoyok Adi Syaputra mengatakan dalam persidangan, kebanyakan tindakan percabulan dilakukan atas dasar suka sama suka.
Namun begitu, karena status anak dilindungi oleh UU, tindakan tersebut dapat dijerat dengan hukuman penjara jika wali korban tidak menerima perbuatan pelaku.
Dalam kondisi seperti itu, pihaknya, tegas dia tetap berlaku professional sesuai ketentuan UU.
"Kami bertindak sesuai dengan ketentuan hukum perlindungan anak," kata Yoyok kepada Parboaboa, Senin (1/7/2024).
Yoyok menjelaskan, anak yang menjadi pelaku percabulan biasanya akan ditempatkan dalam ruang tahanan khusus dan proses persidangan dilakukan secara tertutup.
Dalam keterangan terpisah, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Siantar Simalungun, Dame Jonggi Gultom menyampaikan, sejauh ini proses persidangan anak di tingkat PN Simalungun masih berjalan sesuai dengan sistem peradilan anak.
Namun, ia mencatat bahwa penempatan anak yang telah berstatus terpidana masih berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) umum.
Menurut Jonggi, idealnya setiap kabupaten/kota di Sumatra Utara harus memiliki Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) tersendiri.
Ini penting agar anak-anak yang terlibat dalam kasus hukum mendapatkan penanganan yang lebih sesuai dan mendukung rehabilitasi mereka.
"Memang dipisahkan kamar tahanan anak dan tahanan orang dewasa, tetapi kalau masih satu atap, dikhawatirkan proses pembinaannya akan terganggu, " ujar Jonggi saat ditemui Parboaboa di ruang kerjanya, Rabu (3/7/2024).
Apalagi, demikian Jonggi menambahkan, aktivitas anak yang telah berstatus terpidana sangat rentan dipengaruhi oleh lingkungan LP yang didominasi oleh orang dewasa.
Ia menambahkan pemulihan hak anak yang menjadi korban percabulan sepatutnya tidak dilupakan pemerintah daerah. Lebih-lebih korban yang kebanyakan perempuan rentan mengalami gangguan mental hingga trauma.
Sementara itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DPPA) Simalungun, melalui Kepala Bidang Perlindungan Anak dan Pemenuhan Hak Anak, Isyak Irawanto mengatakan kasus ABH di daerah itu kebanyakan disebabkan karena faktor keluarga.
"60 persen kasus dilatarbelakangi oleh rumah tangga yang bermasalah, seperti anak bawaan (ibu/ayah yang menikah lagi) atau anak yang tidak tinggal bersama dalam satu rumah dengan orang tuanya," ujar Isyak kepada Parboaboa, Selasa (2/7/2024).
Isyak mengatakan upaya konseling dan pendampingan terhadap anak yang menjadi korban, baik korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ataupun korban kekerasan seksual terus diupayakan pihaknya.
Kendati, ia mengakui tetap ada hambatan dalam pelaksanaannya, diantaranya anggaran yang terbatas ditambah wilayah Simalungun yang cukup luas.
"Dari 160 kasus, kami hanya bisa menjangkau 50 kasus, tentunya kami memprioritaskan korban yang berasal dari kalangan ekonomi lemah dengan evaluasi pada setiap realisasi kegiatan, " pungkas Isyak.