PARBOABOA, Jakarta - Partai Buruh menyampaikan lima alasan sebagai dalil untuk menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Cipta Kerja (UUCK).
Pertama, kata Kuasa Hukum Partai Buruh, Said Salahudin UUCK pada saat berstatus Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dinilai telah mengangkangi Putusan MK Nomor 91/PPU-XVIII/2020 yang menyatakan UUCK inkonstitusional.
"Ini jelas pembangkangan konstitusi (constitutional disobedience)," kata Said, Rabu (3/5/2023).
Kedua, aturan tentang cipta kerja yang termuat di Perpu tidak memenuhi berbagai kondisi serta unsur kegentingan memaksa yang ditetapkan standarnya oleh MK.
"Materi muatan Perpu Cipta Kerja secara substansi sama saja dengan materi muatan dalam Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah," ujarnya.
Menurut Said, tidak ada norma dalam Perpu yang dimaksudkan untuk mengatasi kekosongan hukum.
"Seperti yang selama ini kerap dijadikan sebagai dalil oleh pemerintah. Itu palsu!" tegasnya.
Kemudian, sejatinya Perpu hanya dijadikan sebagai instrumen hukum untuk menegasikan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Apalagi tidak ada norma di Perpu yang dimaksudkan mengatasi kekosongan hukum.
"Maka Perpu Cipta Kerja jelas tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009," ungkapnya.
Ketiga, lanjut Said, pembentukan Perpu Cipta Kerja dan UUCK dinilai tidak memenuhi syarat partisipasi masyarakat secara bermakna.
"Doktrin Meaningful Participation yang diperkenalkan oleh Ahli kami pada saat menjadi pemohon uji formil UUCK jilid pertama dulu, sudah diadopsi dan dijadikan sebagai standar oleh MK untuk perkara pengujian formil,' katanya.
Pada faktanya, lanjut Said, prinsip partisipasi masyarakat yang bermakna ini tidak dipenuhi dalam pembentukan Perpu dan UUCK. Tokoh-tokoh buruh dari konfederasi-konfederasi terbesar di Indonesia tidak pernah dimintai pendapat.
"Kalau pun ada, masukan-masukan mereka diabaikan oleh pemerintah dan DPR. Hal ini pernah dialami sendiri oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh Said Iqbal," ujarnya.
Ia melanjutkan, sebelum Perpu terbit, antara kelompok pengusaha, pemerintah, dan buruh sempat membuat kesepahaman mengenai aturan ketenagakerjaan yang kelak akan dimuat dalam Perpu.
"Tetapi begitu Perpu terbit, materi muatan atau isinya justru berbeda. Tidak ada satu pun hasil kesepahaman, khususnya masukan dari kelompok buruh yang diakomodir dalam Perpu," tutur Said.
Alasan keempat, UUCK ditetapkan di luar jadwal konstitusional atau ditetapkan melampaui batas waktu.
Kelima, tidak terpenuhinya syarat pembentukan Perpu menggunakan metode omnibus law, dimana Pasal 42A UU PPP mengatur metode omnibus law terbatas hanya bisa digunakan untuk peraturan perundang-undangan yang disusun dalam keadaan normal.
"Semisal undang-undang. Omnibus law tidak bisa dan tidak mungkin digunakan pada produk hukum yang bersifat darurat seperti Perpu," pungkas Said Salahudin.
Editor: Kurnia Ismain