PARBOABOA, Jakarta – Ningsih (42) tak pernah menyangka putra sulungnya mengalami bullying atau perundungan di sekolah.
Ningsih sering mendapati putranya kerap kesulitan saat tidur, berperilaku murung saat pulang ke rumah, mendadak tidak berselera makan hingga mogok masuk sekolah.
Awalnya Ningsih menyangka putranya yang baru menginjak kelas 7 SMP ini hanya mengalami perubahan fisik dan mental karena masa pubertas remaja.
Namun, setelah putranya menceritakan kondisi di sekolah, Ningsih kemudian terhenyak, hatinya merasa hancur. Putranya selama ini menjadi korban perundungan.
Ningsih mengaku menyekolahkan putranya di sebuah sekolah swasta di kawasan Jakarta Selatan karena sekolah itu sudah cukup baik menangani perundungan. Apalagi di sekolah terpampang jelas spanduk larangan perundungan.
"Sekolah ini terkenal cukup bagus di area tempat tinggal saya, tapi saya tidak menyangka anak saya kena bullying, mungkin anak saya tidak dilukai secara fisik, tapi psikisnya sudah terluka," katanya kepada PARBOABOA, Senin (16/10/2023).
Ia lantas mengadukan kondisi psikis putranya itu ke sekolah. Namun, kata dia, sekolah justru kebingungan mengatasi kondisi putranya, karena selama ini sekolah hanya menangani perundungan secara fisik, bukan psikis.
"Saya kira sekolah belum paham bagaimana menangani bullying psikis, karena sebenarnya bullying psikis ini dampaknya tidak terlihat seperti bullying fisik. Kalau bullying psikis ini yang terluka mentalnya,” ujar ibu dua anak ini.
Menurutnya, sekolah seharusnya tidak gagap menyelesaikan kasus perundungan antarsiswa. Ia meminta sekolah paham apa yang harus dilakukan, jika ada siswanya yang mengalami tanda-tanda perundungan.
"Jangan tunggu anak sudah kena bullying baru bergerak seperti sedang memadamkan api yang sudah menghancurkan apapun di sekitarnya," keluhnya.
Saat ini, putra Ningsih mengaku tidak mau bersekolah, karena minat belajar di kelas sudah hilang. Sekolah lantas memberi solusi pembelajaran jarak jauh dengan mengirimkan materi pembelajaran melalui telepon seluler untuk putranya.
Ningsih hanya berharap Pemprov DKI Jakarta segera membuat aturan yang ketat soal perundungan.
"Pemprov, dalam hal ini Dinas Pendidikan DKI Jakarta harus bergerak cepat, tapi jangan bikin sekolah menutupi kasus bullying, buat sekolah mengakui ada bullying di sekolah, yang paling penting bukan nama baik sekolah, yang paling penting di sini anak didik, karena bagaimanapun sekolah itu ada untuk peserta didik,” imbuhnya.
Darurat Kekerasan di Sekolah
Maraknya kasus perundungan di lembaga pendidikan menjadi perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Menurut Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra hingga September 2023, ada 36 persen anak Indonesia mengalami perundungan.
"Artinya, 1 dari 3 anak Indonesia mengalami kekerasan baik fisik dan mental di sekolah,” ungkapnya kepada PARBOABOA.
Jasra juga mengaku, KPAI menerima 101 aduan perundungan, baik fisik maupun mental hingga medio 2023.
"Ini yang dilaporkan, yang tidak dilaporkan keburu viral juga banyak. Perubahan cepat mutlak dilakukan pemerintah daerah, sistem pendidikan daerah, perubahan itu belum terlalu signifikan, sekolah masih kagok dengan situasi itu. Kasus di Jakarta anak melompat dari gedung sekolah," jelasnya.
Jika diibaratkan, lanjut Jasra, kesehatan jiwa anak-anak di satuan pendidikan kalau di penyakit kanker sudah stadium empat atau terlambat ditangani. Oleh karenanya ia meminta pemerintah daerah mengambil langkah cepat, apalagi saat ini, banyak sekolah yang secara fasilitas belum ramah anak.
“Menjadi warning bagi kita, orang tua, sekolah, teman media yang harus secara massif memberitakan anak Indonesia darurat kekerasan di sekolah,” katanya.
Ia juga meminta sekolah dan orang tua siswa mengenali ciri pelaku perundungan di sekolah yang biasanya tidak bertindak sendiri, tapi mengajak teman satu sekolahnya mengintimidasi korban, hingga korban memberi reaksi sesuai dengan apa yang diinginkan.
Misalnya menjadi rendah diri, jelek dan merasa tidak mampu dan dikucilkan, hingga akhirnya korban tidak minat untuk bersekolah.
"Si pem-bully baru akan merasa puas, setelah itu dia tidak merasa sudah melakukan bullying,” jelasnya.
Jasra juga mengingatkan sekolah untuk tidak menunggu ada korban perundungan.
Sekolah, kata dia, harus bisa mengenali tanda-tanda anak yang menjadi korban perundungan dengan tidak bertindak gegabah, apalagi anak-anak di lingkungan pendidikan memiliki masalah yang kompleks.
"Sekolah jangan sampai seperti memadamkan api yang sudah besar, tapi harus mengenali gesekan kecil dari siswanya dan segera mencari solusi sebelum ada yang menjadi korban, itulah perlunya gugus tugas pencegahan bullying, dari sekolah, komite hingga institusi berwenang,” ungkap dia.
Jasra juga menyayangkan sekolah yang kadang cenderung menutupi kasus perundungan demi menjaga nama baik sekolah.
Cara Tepat Tangani Perundungan
Sementara itu, Peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII) Dewi Rahmawati Nur Aulia menilai, langkah penanganan kasus perundungan, terutama kontekstual dan sudah masuk kategori penganiayaan fisik adalah dengan mendudukkan pelaku dan korban secara terpisah.
Ia meminta kepala sekolah dan bimbingan konseling (BK) menginvestigasi penyebab terjadinya penganiayaan sebelum ditindaklanjuti orang tua korban perundungan.
Selain itu, sekolah juga dapat meminta kesaksian anak yang lain jika diperlukan dengan jaminan mereka tidak perlu mendapatkan hukuman berat dari apa yang sudah dilakukan pelaku.
"Sekolah harus meningkatkan kesadaran hukum pelajar, termasuk penggerak pendidikan. Setiap sekolah berhak tidak menerima pelajar pindahan yang terindikasi dikeluarkan karena bermasalah di sekolah sebelumnya," kata Dewi.
Ia mengungkapkan, secara kontekstual, kasus perundungan psikis sangat luas. Namun, kata dia, sekolah harus bisa mengajarkan penghormatan terhadap praktik hak asasi manusia, terutama kepada sesama murid.
“Penghormatan martabat manusia harus dimulai dari diri sendiri dan sebagai manusia kita juga harus bertanya kepada diri sendiri, apakah saya akan merasakan sakit yang sama jika diperlakukan demikian?” imbuh Dewi.
Diketahui, Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 yang merupakan revisi Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 meminta sekolah wajib membuka diri soal kasus perundungan dan memahami strategi penanganannya.
Tidak hanya itu, Permendikbud juga mengamanatkan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota membentuk satuan tugas Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah.
Berikut lima poin penting yang terkandung dalam Permendikbud No 46 Tahun 2023:
1. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan menjadi fokus pencegahan dan penanganan kekerasan
2. Adanya definisi yang jelas dan bentuk-bentuk rinci kekerasan yang mungkin terjadi
3. Pembentukan tim penanganan kekerasan di satuan pendidikan dan pemerintah daerah diatur lebih rinci
4. Mekanisme pencegahan yang terstruktur dan peran masing-masing aktor terdefinisikan dengan jelas
5. Pembagian alur koordinasi penanganan lebih rinci antara satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbud Ristek