PARBOABOBA, Jakarta - Kemerdekaan kampus untuk menentukan model tugas akhir selain skripsi bagi mahasiswa tidak serta merta meminggirkan proses penempaan akademik yang berkualitas.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi (KemendikbudRistek) kembali mewanti-wanti soal ini, menyusul pernyataan Mendikbudristek Nadiem Makarim yang tidak menjadikan skripsi sebagai syarat wajib bagi kelulusan mahasiswa.
Dalam keterangannya pada Jumat (1/9/2023), Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Diktiristek Kemendikbudristek, Nizam menegaskan, kemerdekaan kampus tidak menjadikannya sebagai tempat pabrik ijazah, tanpa ada proses yang dilalui.
Karena itu, demikian Nizam, peran serta masyarakat menjadi salah satu aspek penting yang perlu dilakukan untuk menjaga dan mengawasi proses akademik yang terjadi di lingkungan kampus.
Selain itu, pengawasan juga dilakukan oleh pihak eksternal, seperti inspektorat jenderal atau tim direktorat serta Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) akan mengawasi.
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengeluarkan aturan baru soal persyaratan lulus kuliah pada jenjang D4 dan S1.
Hal itu diumumkan Nadiem dalam diskusi Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi, pada Selasa (29/8/2023).
Menurut Nadiem, membuat skripsi tidak lagi diwajibkan sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa S1 dan D4. Sementara untuk jenjang S2 dan S3 tetap membuat tulisan ilmiah berupa tesis dan disertasi.
Aturan tersebut tertuang dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Bicara soal kualitas kampus di Indonesia, menarik untuk kembali melihat fenomena kampus bodong di Indoenesia, yang hanya menjadi tempat pabrik ijazah tanpa melalui proses akademik yang baik.
Mengutip pddikti.kemdikbud.go.id, sebanyak 23 perguruan tinggi swasta yang dicabut izin operasionalnya pada Juni 2023. Dalam catatan Kemendikbudristek, sepanjang tahun 2022 hingga 2023, sebanyak 52 perguruan tinggi melakukan pelanggaran.
Hal itu terungkap setelah mendapat pengaduan dari masyarakat dan hasil pemantauan langsung oleh Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek.
Beberapa jenis pelanggaran yang dilakukan perguruan tinggi tersebut, di antaranya praktik jual beli ijazah, penerbitan ijazah palsu, kuliah fiktif, penyimpangan pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K).
Selain itu, adanya layanan yang tidak sesuai standar perguruan tinggi, kemudian terjadi konflik yayasan yang berdampak pada inkondusifitas proses pembelajaran.
Pengamat pendidikan, Ina Liem, pernah menganalisis soal ini. Menurutnya, kasus perguruan tinggi bodong sudah lama terjadi di Indonesia.
Dalam pengamatannya, maraknya kasus perguruan tinggi bodong tidak terlepas dari mental generasi bangsa yang cenderung mementingkan ijazah ketimbang ilmu pengetahuan.
Di sisi lain, tuntutan dunia kerja dan pemerintahan yang mensyaratkan S2 atau S3 untuk kenaikan karier dan jabatan, mempunyai korelasi dengan maraknya kampus swasta bodong di Indonesia.
Kampus-kampus ini, demikian Liem, pandai membaca peluang yang membuat mereka terjebak dalam proses akademik yang jauh dari standar dan lebih mementingkan ijazah.
Karena itu, Liem menyarankan agar perguruan tinggi bodong ini tidak hanya diberikan sanksi hukum, tetapi juga dibarengi dengan sosialisasi aktif.