PARBOABOA, Pematangsiantar – Penataan kota yang baik seharusnya bisa diakses oleh semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Namun, kenyataannya sering kali tidak sesuai harapan.
Iring Sitinjak (47) merasakannya. Anggota Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) ini telah menjadi disabilitas daksa sejak usia satu tahun akibat polio.
Untuk mengisi waktu, dia sering memperbaiki peralatan elektronik dan menjual produk digital seperti pulsa, paket internet, serta token listrik.
“Kalau ada yang mengantarkan barang elektronik rusak, ku perbaiki. Karena di rumah aku buka usaha service elektronik,” kata Iring, baru baru ini kepada PARBOABOA.
Iring juga suka jalan-jalan bareng teman-temannya untuk menikmati waktu luang atau sekadar melepas penat. Tapi sering kali dia kesulitan mengakses tempat yang ingin dikunjungi.
Meski mereka sudah memodifikasi kendaraannya menjadi becak untuk membantu mobilitas sehari-hari, tetap saja beberapa ruang publik masih susah diakses.
“Kami gak minta gedung, tempat, atau ruangan khusus untuk disabilitas. Fasilitas umum pun itu, yang penting bisa akses untuk penyandang disabilitas.”
Misalnya, di Lapangan Haji Adam Malik. Akses ke Ruang Terbuka Hijau (RTH) ini sering ditutup untuk pengguna sepeda motor, jadi mereka tidak bisa masuk. Sementara itu, pintu masuk lainnya penuh dengan tangga.
Begitu juga dengan toiletnya. Sering kali ditutup dan hanya dibuka saat ada acara besar, padahal toilet tersebut khusus untuk penyandang disabilitas.
Apalagi kalau mau ke perpustakaan. Aksesnya ditutup dengan palang tiang berdiri, dan untuk masuk ke sana harus melewati tangga yang tinggi.
“Seandainya dengan kursi roda pun, gak bisa lagi karena ada tangga,” ungkapnya.
Pengalaman serupa juga dialami oleh Pikson Saragih, seorang penyandang disabilitas fisik. Menurutnya, pintu kamar mandi terlalu sempit sehingga kursi roda tidak bisa masuk.
Masalah ini muncul ketika Pikson ingin pergi ke tempat ibadah, dimana fasilitas sesederhana toilet masih sulit diakses oleh pengguna kursi roda.
Kesejahteraan dan Stigmatisasi Penyandang Disabilitas
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Supratman Malau, menilai bahwa persoalan kesejahteraan bagi para penyandang disabilitas memang masih mengalami kendala di Pematangsiantar.
Ketersediaan sarana dan prasarana umum belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh mereka. Padahal, pengadaan fasilitas publik seharusnya mempertimbangkan keberadaan penyandang disabilitas.
“Setiap kantor harusnya menyediakan jalur landai, pengadaan kursi roda, serta kamar mandi untuk disabilitas.”
Selain itu, stigmatisasi terhadap penyandang disabilitas juga masih menjadi masalah. Berdasarkan data dari Dinas Sosial, jumlah penyandang disabilitas di Pematangsiantar mencapai sekitar 338 jiwa, dengan berbagai jenis disabilitas seperti Grahita, Down Syndrome, dan gangguan mental sebanyak 154 jiwa, serta disabilitas daksa sebanyak 144 jiwa.
Namun, masih banyak penyandang disabilitas yang belum terdata, sebagian karena stigma buruk yang masih melekat dalam masyarakat. Hal ini membuat beberapa keluarga enggan mengungkapkan bahwa ada anggota keluarga yang mengalami disabilitas.
Supratman berharap, Peraturan Daerah (Perda) Disabilitas segera diadakan agar dapat melindungi kesejahteraan difabel. Kehadiran Perda ini dinilai akan sangat membantu dalam memperhatikan kesejahteraan penyandang disabilitas di Pematangsiantar.
“Kita Perda belum ada. Kita masih dari Permensos, Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang. Kalau ada Perda kan, satu (sebagai) payung hukum. Kemudian kepastian penganggaran ada. Jadi apa yang kita rencanakan bisa berjalan,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang, Musa Silalahi, mengakui bahwa penataan ruang kota Pematangsiantar belum sepenuhnya ramah terhadap penyandang disabilitas.
Namun, ia menyampaikan bahwa desain penataan ruang kota Pematangsiantar rencananya akan mengacu pada Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), yang bertujuan menciptakan tata kota yang ramah bagi masyarakat yang rentan mengalami diskriminasi sosial.
“Terkait difabel atau disabilitas, itu nanti melalui pengaturan Rencana Detail Tata Ruang. Turunannya (RDTR), nanti menggunakan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.”
Menurutnya, penataan tata ruang Kota Pematangsiantar dengan menggunakan RTBL, tidak hanya ditujukan bagi penyandang disabilitas semata, melainkan juga mencakup Pengarusutamaan Gender.
Dalam implementasinya, Musa menekankan pentingnya keterlibatan semua pemangku kepentingan di Pematangsiantar.
Tidak hanya pemerintah, tetapi juga pengusaha hingga elemen masyarakat perlu berkontribusi dalam menciptakan tata ruang yang ramah bagi semua kalangan.
“Kita punya konsep, ini ramah bagi semua. Bukan hanya sebagai ramah anak, tapi untuk kaum difabel kita juga punya mimpi supaya mereka nyaman hidup tanpa diskriminasi. Hanya ini butuh kerjasama. Bukan hanya pemerintah saja, tapi tanggung jawab semua pemangku kepentingan termasuk pengusaha dan masyarakat itu wajib.”
Editor: Yohana