PARBOABOA, Jakarta - Konsumsi mikroplastik di Indonesia tergolong mengkhawatirkan.
Hal itu terungkap dari hasil studi para peneliti di Cornell University yang dimuat dalam Jurnal Environmental Science & Technology pada 24 April 2024.
Studi tersebut memetakan tingkat konsumsi mikroplastik di 109 negara. Hasilnya, tingkat konsumsi mikroplastik di Indonesia sebanyak 15 gram gram per bulan.
Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk AS yang mengonsumsi mikroplastik hanya 2,4 gram per bulan.
Bahkan, di Indonesia, terjadi peningkatan 59 kali lipat dalam rentang waktu dari tahun 1990 hingga tahun 2018. Konsumsi ini berasal dari sumber air seperti makanan laut.
Profesor di bidang teknik energi, Fengqi You menerangkan, konsumsi mikroplastik merupakan indikator penting dari polusi plastik dan risiko kesehatan masyarakat.
Adapun studi di atas tegas dia, dilakukan dengan memperhitungkan demografi usia, kebiasaan makan, teknologi pengolahan makanan dan tingkat pernapasan di setiap negara.
Selanjutnya, penelitian difokuskan dengan menganalisis penyerapan makanan lewat pengumpulan data mengenai konsentrasi mikroplastik dalam sub kategori kelompok makanan utama, baik sayuran, buah-buahan, protein, biji-bijian, produk susu, minuman gula, garam, dan rempah-rempah.
Adapun makanan-makanan ini mengacu pada jenis-jenis makanan yang dikonsumsi di berbagai negara.
Sebagai contoh, peneliti mencermati konsumsi garam per kapita di Indonesia dan Amerika Serikat hampir sama. Tetapi mikroplastik dalam garam di Indonesia, konsentrasinya tercatat sekitar 100 kali lebih tinggi.
Pertanyaannya adalah apa yang membuat konsumsi mikroplastik pada negara-negara berkembang di di Asia, termasuk Indonesia tergolong tinggi?
Fengqy You menjelaskan, konsumsi mikroplastik yang tinggi tidak terlepas dari faktor Industrialisasi .
Industrialisasi kata Fengqy, berdampak pada limbah dan serapan mikroplastik oleh manusia.
Di negara-negara berkembang, terutama di Asia Timur dan Selatan, hal ini telah menyebabkan peningkatan konsumsi bahan plastik dan limbah.
Sedangkan di negara-negara industri mengalami tren sebaliknya, karena didukung oleh sumber daya ekonomi yang lebih besar untuk mengurangi dan menghilangkan sampah plastik.
Karena itu, Fengqy mengingatkan agar studi diatas bisa dimanfaatkan untuk menginformasikan strategi pengurangan serapan mikroplastik yang disesuaikan dengan ekonomi lokal dan konteks industri.
Namun, upaya tersebut katanya membutuhkan kolaborasi internasional, seperti dukungan teknologi dari negara-negara maju untuk memajukan strategi pengurangan limbah.
Melansir laman resmi layanan kelautan nasional, mikroplastik merupakan potongan plastik kecil yang panjangnya kurang dari lima milimeter dan dapat membahayakan kehidupan laut.
Partikel-partikel kecil ini dengan mudah melewati sistem penyaringan air dan berakhir di lautan dan Great Lakes, sehingga menimbulkan potensi ancaman bagi kehidupan akuatik.
Selain mikroplastik dikenal juga microbeads. Microbeads adalah sejenis mikroplastik yang terdiri dari potongan kecil plastik polietilen, yang diproduksi dan ditambahkan sebagai pengelupas kulit pada produk kesehatan dan kecantikan, seperti beberapa pembersih dan pasta gigi.
Microbeads sendiri bukanlah masalah baru. Menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, microbeads plastik pertama kali muncul dalam produk perawatan pribadi sekitar lima puluh tahun yang lalu, seiring dengan semakin banyaknya plastik yang menggantikan bahan-bahan alami.
Hingga tahun 2012, masalah ini masih relatif belum diketahui, dengan banyaknya produk yang mengandung microbeads plastik di pasaran dan belum banyak kesadaran dari konsumen.
Pada tanggal 28 Desember 2015, Presiden Obama menandatangani Undang-Undang Perairan Bebas Microbead tahun 2015 yang melarang microbeads plastik dalam kosmetik dan produk perawatan pribadi.
Editor: Gregorius Agung