PARBOABOA, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan setidaknya ada 13 kasus kekerasan seksual yang dilakukan pelaku pemberi pinjaman online atau pinjol.
Hal itu diungkapkan Komisioner Perempuan, Theresia Iswarini dalam peluncuran Catahu Komnas Perempuan 2023 di Hotel Santika Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Selasa (7/3/2023).
Dikatakan Theresia, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni hanya empat kasus.
“Kasus pinjaman online meningkat sebanyak 225 persen. Tahun sebelumnya hanya empat kasus, namun sekarang ada 13 kasus,” katanya.
Theresia merincikan, bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku pemberi pinjol, di antaranya ancaman penyebaran foto atau video tak senonoh sebanyak tiga kasus, pemalsuan atau rekayasa foto ada tiga kasus.
Selain itu, ada dua kasus di mana korban dimintai mengirimkan foto atau video berkonten seksual.
Kemudian ancaman mengedit foto bernuansa seksual sebanyak satu kasus, penyebaran foto atau video tak senonoh satu kasus, dimintai melakukan video call seks ada satu kasus, dan dipaksa membuat foto atau video tak senonoh satu kasus.
Theresia menyayangkan perbuatan para pemberi pinjaman online yang menggunakan cara kekerasan seksual dalam upaya penagihan utang karena meninggalkan luka psikis bagi para korban.
“Ini ngeri sih sebenarnya. Banyak dari korban mengalami stress dan depresi, sakit berat, bahkan sampai bunuh diri,” ujarnya.
Kondisi tersebut, kata Theresia, seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk membangun sistem perlindungan bagi siapapun termasuk perempuan yang mengakses keuangan melalui online.
“Betapa ya, pinjaman online meskipun kesannya ingin membantu tapi ternyata cara menagih hutangnya menggunakan cara-cara kekerasan seksual,” imbuhnya.
Di sisi lain, Indonesia masih belum memiliki regulasi yang mengatur tentang perlindungan orang-orang yang mengakses keuangan online.
Theresia berharap dengan adanya regulasi tersebut dapat memberi ruang aman bagi perempuan di ranah digital.
“Kebijakan perlindungan dan mekanisme penanganan yang tepat penting segera dibuat agar para korban dapat mengetahui institusi yang menangani dan proses penanganannya termasuk ketersediaan lembaga layanan yang fokus pada isu kekerasan siber,” pungkasnya.