PARBOABOA, Jakarta – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan aparat keamanan di Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya untuk tidak melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil. Hal ini merupakan salah satu sikap yang diambil oleh Komnas HAM terkait perkembangan penanganan pengungsi di Maybrat.
Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, mengatakan pihaknya akan mendorong upaya-upaya membuka ruang dialog kepada pihak yang berkonflik untuk menghentikan kekerasan, apalagi konflik bersenjata.
Selain itu, kata dia, Komnas HAM juga mendesak penegakan hukum dilakukan kepada pihak-pihak yang melanggar HAM di wilayah Papua.
“(terhadap) siapa aja ya, baik itu aparat negara maupun kelompok-kelompok bersenjata di Papua Barat Daya,” ucapnya kepada Parboaboa pada sesi wawancara virtual, Senin (16/01/2023).
Adapun desakan tersebut mencuat atas komitmen Panglima TNI dan Kapolri yang menjanjikan pendekatan humanis di tanah Papua.
Untuk diketahui, meletusnya konflik antara kelompok bersenjata dengan aparat keamanan di Maybrat pada 2 September 2021 memaksa masyarakat untuk mengungsi.
Berdasarkan data Human Rights Papua per November 2021, sebanyak 3.121 orang asli Papua (OAP) yang berasal dari 50 desa pada sejumlah distrik di Kabupaten Maybrat meninggalkan rumah akibat konflik berkepanjangan.
Oleh karena itu, kata Uli, Komnas HAM meminta pemerintah pusat, pemda, TNI, dan Polri untuk memberikan jaminan keamanan saat pengungsi kembali ke wilayahnya.
“Meminta Pemerintah baik pusat maupun daerah, TNI dan Polri memastikan pemulangan para pengungsi secara sukarela kembali ke wilayahnya dengan memberikan jaminan atas rasa aman, dan memastikan pemenuhan hak-hak dasarnya,” tuturnya.
Adapun sejumlah permintaan dan desakan tersebut, lanjut Uli, bertujuan untuk kelancaran proses pemulangan para pengungsi kembali ke wilayahnya masing-masing.
“(Komnas HAM) meminta kepada Kepolisian dan TNI mengambil langkah yang diperlukan dalam penanganan situasi keamanan di Kabupaten Maybrat dengan tetap mengedepankan norma dan prinsip hak asasi manusia,” tukasnya.
Hal serupa juga sebelumnya diucapkan oleh Direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiscan Papua, Yuli Langowuyo beberapa waktu lalu terkait konfliik bersenjata di Maybrat.
Yuli menilai konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dengan aparat negara, membuat masyarakat harus meninggalkan kampung halamannya dan menelantarkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara.
“Itu (konflik bersenjata) berarti kan hak-hak dasar mereka tuh tidak bisa lagi terpenuhi; hak atas pangan, hak atas kesehatan (terutama untuk) sarana publik seperti Puskesmas dan lain-lain,” kata Yuli dalam diskusi publik yang digelar secara virtual, Rabu (11/01/2023) lalu.
Yuli menyayangkan konflik tersebut berlangsung tanpa mengenal tempat, bahkan berperamg di ruang publik yang berbuntut pada hilangnya nyawa masyarakat sipil, termasuk anak-anak.
“Bagaimana mau dibilang ya? Sangat miris. Karena dua kelompok ini sama-sama pegang senjata tapi berperang di wilayah publik, di mana masyarakat sipil itu ada,” terangnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, menilai kemampuan negara dalam menyelesaikan persoalan HAM di Papua masih sangat rendah.
“Menurut kami sangat minim, rapornya merah jelas di tahun 2022 ini,” kata Yan, Rabu (11/01/2023).
Yan menambahkan, sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di Papua bisa menjadi penilaian buruk bagi Indonesia di mata Internasional.
Di akhir kata, Yan menyebut, tidak ada perubahan yang signifikan terkait penegakan hukum dalam perlindungan hak asasi manusia di Tanah Papua selama 4 tahun terakhir.
Editor: -