PARBOABOA, Simalungun – Sulistiono tidak pernah membayangkan jika hidupnya akan didedikasikan menjadi mahout atau pawang gajah. Selama 25 tahun sudah waktu yang dijalaninya. Dia pernah hanya menerima upah Rp100 ribu perbulan, mengalami cacat lutut karena diserang gajah, tapi hewan berbelalai itu justru menjadi sosok yang harus dirawat dan dilindunginya.
Tim Parboaboa menemuinya di tempat konservasi gajah Aek Nauli Elephant Conservatio Cmap (ANECC) di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK), Aek Nauli, Kecamatan Dolok Panribuan, wilayah tempatnya berdinas.
Pria paruh baya itu bercerita, dia sudah merawat gajah sejak usianya 30 tahun. Saat ditanya tentang pengalamannya merawat gajah, sambil tersenyum dia menceritakan keseruannya menaklukkan gajak liar, terutama gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).
Lewat pengalamannya yang panjang, Sulistiono berkemampuan mengenali dan membedakan gajah satu dengan lainnya. Dia seperti punya keterikatakan emosional dengan hewan-hewan yang dirawatnya.
“Setiap gajah sifatnya beda-beda, itulah tugas saya sebagai mamout harus bisa membaca karakter dari setiap gajah, dan menjalin hubungan emosional dengan gajah itu,” katanya, Sabtu (11/12/2022).
Upah Rp100 Ribu
Ada perjalanan panjang yang dialami Sulistiono menjadi seorang mahout gajah. Dia mengisahkan, pada 1994 silam, dirinya baru keluar dari salah satu perusahaan gas di Kota Medan. Mengetahui ada penerimaan mahout, tidak dilepasnya kesempatan itu karena statusnya masih mengganggur saat itu.
Lamaran diajukan dan setelah melewati beberapa tahap seleksi, akhinya diterima menjadi tenaga honorer di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Labuhan Batu Utara pada 1997. Di sini, selama 11 tahun hingga 2007 menjadi tenaga honorer yang hanya di gaji Rp100 ribu sebulan.
Pilihannya menjadi mahout gajah sempat mendapat cibiran dari orang sekitar hingga keluarga. Saat itu pekerjaanya hanya memberikan makan gajah dan membersihkan kandang yang dianggap pekerjaan kurang layak.
Sulistiono yang gigih, tidak menyerah dengan keadaan. Untuk menutupi biaya hidupnya, dia cari uang tambahan dengan bekerja serabutan seperti berjualan makanan.
“Awal-awal emang sulit ya, apalagi ngerawat bayi gajah. selain ga punya pengalawan, saya juga takut awalnya. Tapi lama kelamaan namanya sudah cinta sama pekerjaan ya pasti bisa dirawat,” ucapnya bercerita.
Cacat Lutut Diserang Gajah
Hidup tidak semulus yang diharapkan, pekerjaan Sulistiono sebagai mahout hampir mengancam nyawanya. Dia diserang sekawanan gajah liar saat berusaha mengevakuasi.
Saat itu, kata Sulistiono bercerita, dia bersama dengan kerabatnya pergi ke Labuhan Batu untuk membantu salah satu perusahaan sawit yang lahannya di serang oleh kawanan gajah liar. Bermaksud mengevakuasi, justru lututnya cacat karena diserang.
“Waktu itu memancing gajah liar dengan gajah jinak agar mau keluar dari kawasan, tapi gajah kita diserang hingga terkapar. Setelah itu, kawanan gajah menyerang saya dan tim, hingga akhirnya saya terkena belalai gajah dan terlempar sejauh enam meter,” jelasnya.
Syukurnya Sulistiono selamat termasuk kerabatnya yang ikut diserang. Hanya saja, akibat kejadian itu, lutut kaki sebelah kanannya cacat hingga kini.
Merawat Gajah Buta
Tidak hanya pengalaman buruk yang pernah diterimanya, Sulistiono juga memiliki kisah manis dari gajah istimewa yang diberi nama Cecilia. Ini merupakan salah satu sahabat hewannya karena lamanya waktu yang dihabiskan untuk merawat.
Sulistiono mengatakan, dia sudah mulai merawat Cecilia sejak masih berumur 10 tahun. Gajah mungil ini baginya sangat istimewa karena terlahir buta.
“Satu gajah yang tidak bisa saya lupakan namanya Cecilia, waktu saya terima umurnya masih 10 tahun dan matanya buta. Melihat kondisi gajah itu saya rasanya sedih sekali,” katanya.
Cecilia yang terlahir buta membuat Sulistiono awalnya sulit untuk menaklukkannya. Bermodalkan pengalaman merawat ratusan gajah, pria paruh bayah itu tak menyerah, hinga berhasil membuat Cecilia menjadi gajah yang penurut dan jinak.
Sulistiono membangun keterikatan emosional dengan gajah Cecilia lewat instuksi tanda tentang keadaan di sekitar. Saat itu, dia tidak malu jika dikatakan aneh karena berbicara dengan gajah.
Sudah menganggap Cecilia sebagai sahabat, tak jarang Sulistiono menjahili gajah buta itu.
“Kadang bosenkan, saya ganguin itu Cecilia. Saya bilang ayo Cecilia lari-lari. Dia (Cecilia) kan buta, jadi semua kadang yang di depannya ditabrakkan, sengaja saya buat begitu agar identitas Cecilia sebagai gajah liar tetap ada, walaupun dia buta dia ga boleh lemah,” tuturnya dengan nada haru.
Sulistiono bercerita gajah-gajah yang diwaratnya itu sering bertingkah konyol dan lucu, hal itu juga kadang yang membuatnya terhibur saat merawatnya. Hidup di tengah hutan dan jauh dari keluarga membuat Sulistiono menjadikan gajah sebagai sahabatnya dan keluarga baru untuknya.