PARBOABOA, Jakarta - Di Awal bulan ini (November 2024), Indonesia kembali diingatkan tentang ancaman terorisme yang masih mengintai.
Hal itu terdeteksi pasca Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror Polri berhasil mengungkap rencana teror dari kelompok Anshor Daulah di wilayah Jawa Tengah.
Dalam operasi tersebut, tiga orang terduga teroris berinisial BI, ST, dan SQ ditangkap di tiga lokasi berbeda, yakni di Kudus, Demak, dan Karanganyar.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menerangkan, ketiganya diduga kuat merupakan bagian dari jaringan kelompok yang selama ini dikenal dengan propaganda radikalnya.
Mereka, kata dia, tidak hanya merencanakan aksi teror, tetapi juga aktif menyebarkan narasi provokatif melalui media sosial.
"Pelaku disinyalir punya rencana untuk melakukan aksi teror" serta "menyebarkan propaganda dan narasi provokasi di media sosial untuk melakukan aksi teror," kata Trunoyudo.
Dalam penangkapan tersebut, Densus 88 juga menyita sejumlah barang bukti, termasuk 20 senjata tajam, busur panah, perangkat elektronik, buku-buku terkait radikalisme, hingga spanduk yang mengarah pada propaganda.
Trunoyudo berkata, Anshor Daulah sebenarnya telah dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh pengadilan, namun aktivitasnya yang berfokus pada perekrutan anggota baru serta penyebaran doktrin radikal kepada masyarakat, masih terus dilakukan.
Jamaah Ansharut Daulah (JAD) adalah kelompok militan di Indonesia yang memiliki hubungan kuat dengan dua tokoh besar terorisme asal Malaysia, yaitu Dr. Azahari dan Noordin M. Top.
Keduanya dikenal sebagai otak di balik sejumlah aksi teror di masa lalu. Kelompok ini juga terkait dengan serangkaian serangan besar, termasuk pengeboman Surabaya pada 2018 dan pengeboman Makassar pada 2021, yang diklaim sebagai tanggung jawab Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Pada 2017, Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat menetapkan JAD sebagai organisasi teroris. Setahun kemudian, pengadilan Jakarta Selatan resmi melarang kelompok ini pada 31 Juli 2018. Larangan tersebut memungkinkan pihak berwenang menangkap para anggotanya dan menghentikan kegiatan mereka.
Namun, meskipun sudah dianggap ilegal, aksi JAD masih terus terjadi. Salah satu insiden yang menggemparkan terjadi pada 10 Oktober 2019, ketika dua anggotanya menyerang Menteri Pertahanan Indonesia, Wiranto, dengan senjata tajam.
Serangan ini membuat Wiranto terluka parah dan harus dirawat di rumah sakit. Selain itu, tiga orang lainnya, termasuk seorang polisi, juga mengalami luka akibat insiden tersebut.
Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror Polri Irjen Marthinus Hukom menerangkan, sepanjang tahun 2022 hingga Maret, Densus 88 Anti-Teror Polri telah menangkap 56 orang yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia.
Penangkapan ini, cetusnya, menjadi bagian dari upaya konsisten Densus 88 dalam memberantas aktivitas teror di tanah air. Adapun jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah penangkapan teroris cukup tinggi. Pada 2020, ada 232 teroris yang diamankan, sementara di 2021, angka tersebut meningkat menjadi 370 orang.
Meski jumlah penangkapan meningkat, aksi terorisme di lapangan justru mengalami penurunan. Pada 2020, terjadi 13 insiden teror, tetapi angka ini menurun menjadi hanya 6 kejadian pada 2021.
Menurut Marthinus, ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan melalui penangkapan, efektif dalam meminimalkan potensi serangan. Kendati demikian, "jumlah pelaku yang masih aktif menunjukkan bahwa ancaman terorisme belum sepenuhnya hilang," tukasnya.
Apalagi, perkembangan situasi global, seperti pergantian pimpinan ISIS di Suriah, turut mempengaruhi jaringan teroris di Indonesia.
Meski kehilangan sebagian besar wilayah kekuasaan mereka di Timur Tengah, kata Marthinus, kelompok ini masih aktif memberikan arahan dan mendukung jaringan afiliasinya di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Salah satu bentuk dukungan itu adalah penyebaran propaganda ideologi melalui media sosial. Para anggota jaringan diminta menerjemahkan materi-materi propaganda ke dalam Bahasa Indonesia dan Inggris untuk memperluas pengaruh mereka.
Karena itu, menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk tidak hanya menekan aktivitas mereka secara fisik, tetapi juga memutus penyebaran ideologi radikal yang terus menyusup ke berbagai lapisan masyarakat.
Menurut Marthinus, langkah-langkah strategis seperti pencegahan dini, penegakan hukum, dan edukasi publik menjadi kunci utama dalam melawan ancaman terorisme di masa depan.
Untuk diketahui, Detasemen Khusus 88, atau lebih dikenal sebagai Densus 88, adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berfokus pada penanggulangan terorisme di Indonesia.
Unit ini dirancang untuk menghadapi berbagai ancaman terorisme, mulai dari ancaman bom hingga situasi penyanderaan. Sebagai garda terdepan melawan aksi teror, Densus 88 dilengkapi dengan kemampuan khusus dan personel terlatih, termasuk ahli investigasi, penjinak bahan peledak, dan penembak jitu yang tergabung dalam unit pemukul.
Densus 88 berdiri berdasarkan keputusan Kapolri pada 20 Juni 2003 melalui Skep Kapolri No. 30/VI/2003, dan secara resmi diresmikan pada 26 Agustus 2004 oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya saat itu, Inspektur Jenderal Firman Gani.
Pembentukan tersebut didasari oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, yang memberikan kewenangan kepada satuan ini untuk melakukan penangkapan dengan bukti awal selama 7 x 24 jam.
Nama Densus 88 sendiri memiliki makna unik. Angka 88 berasal dari pelafalan singkatan ATA (Anti-Terrorism Act) dalam bahasa Inggris, yang terdengar seperti "Eighty Eight." Hal ini sering disalahartikan, di mana ada anggapan bahwa angka 88 merujuk pada jumlah korban bom Bali yang mayoritas berasal dari Australia, atau representasi borgol. Namun, keduanya tidak benar.
Densus 88 juga merupakan bagian dari sistem antiterorisme Indonesia yang lebih luas. Selain Densus, terdapat pula satuan-satuan lain seperti Kopassus TNI, Kopaska TNI AL, Sat 81 Kopassus, dan unit antiteror lainnya yang berada di bawah TNI, Polri, maupun BIN. Bersama-sama, mereka membentuk pertahanan terpadu untuk menghadapi ancaman terorisme yang kompleks di Indonesia.
Fungsi Densus 88 tak hanya di tingkat pusat, tetapi juga di daerah melalui Polda. Mereka bertugas memantau aktivitas teroris, menyelidiki laporan masyarakat, dan melakukan penangkapan terhadap individu atau kelompok yang terlibat dalam jaringan teroris.
Keberadaan Densus 88 adalah salah satu langkah nyata Indonesia dalam merespons ancaman global terorisme. Dengan dukungan undang-undang yang kuat dan pelatihan yang intensif, satuan ini terus memainkan peran krusial dalam melindungi masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan oleh aksi teror.