Kenaikan UMP 2025 dalam Bayangan Ancaman Pajak Tinggi

Ilustrasi Uang Tunai. (Foto: Unsplash)

PARBOABOA, Jakarta - Kabar baik menghampiri buruh di Indonesia. Pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar 6,5 persen.

Ini menjadi kebijakan pertama di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Di tengah bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global, kebijakan ini membawa secercah harapan bagi pekerja.

Namun, di sisi lain, sejumlah tantangan mengintai yang berpotensi meredam dampak positifnya.

Menurut Direktur Lembaga Kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, keputusan ini menandai arah kebijakan baru dibandingkan era sebelumnya.

"Jika melihat tren, sejak penerapan UU Cipta Kerja, pertumbuhan UMP mengalami kejatuhan tajam," ujar Yusuf dalam keteranganya yang diterima Parboaboa, Jumat (20/12/2024).

Ia menyoroti bahwa pada tahun 2021, kenaikan UMP hanya sebesar 0,57 persen, sedangkan tahun 2022 berada di angka 1,41 persen—jauh tertinggal dari inflasi yang mencapai 5,51 persen.

Sebaliknya, periode 2013–2016 mencatat kenaikan UMP rata-rata hingga 16 persen per tahun, mencerminkan kebijakan yang lebih progresif.

Meski kenaikan 6,5 persen pada 2025 patut diapresiasi, sejarah menunjukkan bahwa rerata kenaikan UMP dalam beberapa tahun terakhir justru melemah.

Data mencatat, pada 2014–2016, pertumbuhan UMP rata-rata mencapai 14,9 persen per tahun.

Namun, angka ini anjlok menjadi 8 persen pada era Presiden Jokowi dan lebih drastis lagi setelah UU Cipta Kerja diterapkan.

Harapan sempat mencuat pada 2023, saat UMP naik 7,26 persen karena tidak lagi mengacu pada PP No. 36/2021.

Namun, optimisme ini kembali teredam setelah terbitnya UU No. 6/2023, di mana kenaikan UMP pada 2024 hanya mencapai 3,60 persen.

Kini, kenaikan UMP 2025 dianggap sebagai langkah awal yang baik. Tetapi, Yusuf Wibisono mengingatkan bahwa tantangan besar ada di depan mata.

Salah satunya adalah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan.

Beban Tambahan Mengintai

"Kenaikan UMP ini berpotensi tergerus jika pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen serta menambah pungutan wajib seperti potongan Tapera atau kenaikan tarif layanan umum seperti KRL," ungkap Yusuf.

Ia juga memperingatkan bahwa lonjakan inflasi hingga 4 persen akibat kenaikan harga energi dan pangan global bisa semakin menekan daya beli buruh.

Jika daya beli tergerus, kenaikan UMP tak ubahnya angin lalu bagi buruh yang telah lama bergulat dengan tingginya biaya hidup.

Ia menjelaskan, pada periode 2021–2024, kenaikan UMP bahkan tidak mampu mengimbangi kenaikan garis kemiskinan. Selisihnya mencapai nilai negatif sebesar 3,2 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa buruh kelas bawah terus mengalami penurunan kesejahteraan.

Dari sisi pengusaha, kebijakan ini juga menjadi tantangan berat, terutama bagi sektor padat karya yang bergantung pada ekspor.

Kenaikan UMP dapat menjadi beban tambahan yang berpotensi memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Yusuf mengingatkan bahwa tingginya angka PHK pada 2023 dan 2024 harus menjadi perhatian pemerintah.

Selain menaikkan UMP ungkapnya, pemerintah harus memberikan insentif kepada industri dalam negeri.

Mengatasi impor ilegal dan praktik dumping juga penting agar pelaku usaha lokal dapat bersaing," tegasnya.

Bagi Yusuf, menjaga pertumbuhan UMP di atas inflasi adalah langkah krusial untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.

Kebijakan UMP yang progresif tidak hanya mendukung pekerja bergaji rendah, tetapi juga berkontribusi pada perbaikan struktur upah bagi pekerja kelas menengah.

Namun, Yusuf menekankan pentingnya kebijakan yang seimbang. Adapun, peningkatan daya beli buruh akan menciptakan permintaan baru bagi barang dan jasa.

Ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, “asalkan pemerintah juga melindungi industri agar dampak negatif seperti PHK dan penutupan usaha dapat dihindari," jelasnya.

Kenaikan UMP 2025 sejatinya adalah langkah maju, tetapi dampaknya tidak akan maksimal tanpa dukungan kebijakan lain yang melindungi daya beli buruh dan keberlanjutan industri.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS