PARBOABOA, Jakarta - Wacana kenaikan tarif jalan tol kembali mengemuka. Fenomena ini bukan hal baru dan sering menjadi sorotan di tengah masyarakat.
Kenaikan harga tol selalu menjadi isu sensitif karena memengaruhi mobilitas, terutama di kota-kota besar yang padat.
Baru-baru ini, Kepala Divisi Regional Tol Metropolitan Jasamarga, Widiyatmiko Nursejati, mengumumkan bahwa penyesuaian tarif tol dalam kota akan berlaku mulai 22 September 2024.
Penyesuaian ini, katanya, merujuk pada Keputusan Menteri PUPR No. 2130/KPTS/M/2024 yang dikeluarkan pada 22 Agustus 2024 mengenai perubahan tarif tol.
Berdasarkan keterangan dari Jasamarga Metropolitan Tollroad, kenaikan tarif tol telah diatur dalam Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, serta Pasal 68 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 terkait Jalan Tol, yang menupakan perubahan terakhir pada PP No. 17 Tahun 2021.
Selain itu, aturan lain mengenai penyesuaian tarif tol terdapat dalam PP No. 23 Tahun 2024 tentang Jalan Tol.
Kenaikan tarif tol juga tercantum dalam UU No. 38 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa kenaikan dapat dilakukan setiap dua tahun sekali berdasarkan inflasi.
PP No. 15 Tahun 2005 menjelaskan bahwa penyesuaian tarif bertujuan untuk menjaga keberlanjutan pelayanan jalan tol dan menjamin standar pelayanan minimum (SPM) bagi pengguna.
Meski alasan utamanya adalah inflasi, masyarakat sering merasa kenaikan ini memberatkan, terutama jika tidak diikuti peningkatan kualitas layanan.
Banyak pengguna tol merasa bahwa kemacetan masih sering terjadi, dan fasilitas yang disediakan belum memadai.
Kenaikan tarif tol langsung berdampak pada biaya transportasi. Bagi mereka yang mengandalkan jalan tol setiap hari, kenaikan ini jelas menambah beban ekonomi.
Data dari BPJT menunjukkan bahwa kenaikan tarif tol biasanya berkisar antara 10-15%, tergantung wilayah dan jenis tol.
Contohnya, di wilayah Jabodetabek, kenaikan tol rata-rata berkisar antara Rp500 hingga Rp2.000 untuk setiap golongan kendaraan.
Hal ini tentu memengaruhi pengeluaran rutin, terutama bagi pengemudi pribadi dan pengusaha logistik yang sering menggunakan tol.
Sektor logistik menjadi salah satu yang paling terdampak. Kenaikan tarif tol secara otomatis meningkatkan biaya distribusi barang.
Sebagian besar distribusi di Indonesia mengandalkan jalur darat, sehingga kenaikan tarif tol bisa memicu naiknya harga barang kebutuhan sehari-hari.
Menurut data Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), biaya logistik di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara, mencapai 23,5% dari PDB.
Kenaikan tarif tol memperburuk situasi ini, mengingat jalan tol merupakan rute utama distribusi barang antarwilayah.
Pemerintah memahami bahwa kenaikan ini akan menimbulkan reaksi di masyarakat. Namun, Kementerian PUPR menegaskan bahwa kenaikan tarif diperlukan untuk menjaga mutu infrastruktur dan pelayanan jalan tol.
Pemerintah juga mendorong pembangunan tol baru guna memperluas akses dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Kenaikan tarif tol seharusnya diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan. Tol yang bebas dari kemacetan, infrastruktur yang baik, dan layanan rest area yang memadai adalah beberapa aspek yang perlu ditingkatkan.
Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan terhadap operator tol untuk memastikan SPM terpenuhi.
Dalam UU No. 38 Tahun 2004, salah satu indikator SPM adalah kecepatan perjalanan rata-rata di tol yang tidak boleh di bawah batas minimum.
Namun, kemacetan masih menjadi masalah di ruas-ruas tol utama, dan ini harus segera diatasi.
Sekretaris Jenderal Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA), Tubagus Haryo Karbyanto, mengatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk menggugat kenaikan tarif tol melalui jalur hukum.
Hal ini bisa dilakukan melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Tubagus memandang langkah tersebut penting guna memastikan kebijakan kenaikan tarif sesuai dengan prinsip keadilan sosial dan konstitusi Indonesia.
Ia menekankan bahwa kenaikan tarif tol sering diberlakukan tanpa evaluasi yang memadai, dan hal ini berpotensi melanggar hak konstitusional masyarakat.
Menurutnya, sumber daya dan fasilitas publik harus dikelola untuk kemakmuran rakyat, bukan semata-mata untuk kepentingan bisnis.
Dalam pandangannya, kenaikan tarif tol yang tidak memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat melanggar prinsip keadilan sosial yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.
Ia juga menyoroti Pasal 28H UUD 1945, yang mengatur tata kelola pemerintahan harus dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas, yang menurutnya sering diabaikan dalam penetapan tarif tol.
Pasal 34 UUD 1945 juga menegaskan bahwa negara bertanggung jawab memastikan kebijakan publik berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Kenaikan tarif tol otomatis, tanpa evaluasi mendalam, menurutnya bisa dipertanyakan keabsahannya secara hukum.
Ia menegaskan bahwa jalan tol masih memiliki banyak masalah, seperti kemacetan dan fasilitas yang minim.
Kenaikan tarif tanpa perbaikan signifikan dianggap sebagai bentuk ketidakadilan bagi pengguna.
Kenaikan tarif ini, menurutnya, menaikkan biaya hidup dan memperburuk kondisi masyarakat yang sudah terdampak pandemi.
Ia mendorong masyarakat untuk aktif memperjuangkan hak-haknya melalui jalur hukum jika merasa dirugikan oleh kebijakan ini.
Diketahui, pembangunan infrastruktur tol di Indonesia berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Hingga akhir 2023, total panjang tol yang beroperasi mencapai 2.500 km, dan sekitar 1.000 km masih dalam tahap konstruksi.
Pemerintah pun menargetkan pembangunan tol hingga mencapai 5.000 km pada tahun 2030.