PARBOABOA, Jakarta – Kebijakan menaikkan tarif parkir bagi kendaraan yang tak lolos uji emisi di DKI Jakarta dinilai memberatkan dan tidak berpihak kepada masyarakat dengan ekonomi kecil dan menengah.
Bahkan, kebijakan tersebut berpotensi membuat parkir liar di ibu kota semakin menjamur. Pasalnya, pemilik kendaraan yang berusia lebih dari 10 tahun dan tak lolos emisi akan memilih parkir liar, dibanding ketimbang parkir yang berizin.
"Mobil saya memang tua, tapi saya merawat mobil saya dengan baik, mobil saya tidak pernah mogok dan asapnya juga tidak hitam," kata Kurnia (37) kepada PARBOABOA, Jumat (29/9/2023).
Kurnia mengakui mobil yang ia punya keluaran tahun 2009 atau masuk dalam kategori mobil tua.
"Apalagi mobil ini penuh sejarah karena milik orangtua saja, hingga saat ini saya belum mampu membeli mobil keluaran terbaru karena penghasilan saya saat ini belum cukup untuk punya mobil baru," ungkapnya.
Ia menyayangkan kebijakan mengurangi polusi udara dari Pemprov DKI yang menyasar sanksi kepada masyarakat kecil.
"Lagi-lagi rakyat kecil yang kena imbas, seharusnya pemerintah lihat siapa yang terbesar menyumbang polusi di Jakarta. Kebijakan harusnya lebih tegas kepada pemilik korporasi bukan rakyat kecil, harusnya gimana caranya pabrik penyumbang polusi yang kena sanksi tegas," kesalnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, razia uji emisi merupakan salah satu upaya pemerintah mengurangi polusi udara.
Menurutnya, sanksi pengemudi kendaraan yang belum atau tidak lolos uji emisi telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
"Parameter atau syarat ambang batas tersebut mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2008 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan bermotor," katanya.
Parkir Liar dan Dilema Ekonomi
Menanggapi keluhan masyarakat tadi, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Putu Rusta Adijaya, menilai, kebijakan yang dikeluarkan Pemprov DKI harus disertai dengan kontrol, pengawasan dan evaluasi yang kuat. Termasuk menggencarkan sosialisasi dan kampanye publik tentang pentingnya kendaraan harus uji emisi.
"Karena jika tidak ada kontrol, pengawasan dan evaluasi yang serius, mau se-noble apapun kebijakan akan susah untuk berhasil," katanya kepada PARBOABOA.
Putu mengatakan, disinsentif tarif parkir berdasarkan Pasal 17 Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, di mana nilai tarif parkirnya sendiri berdasarkan Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2017 tentang Tarif Layanan Parkir, Denda Pelanggaran Transaksi dan Biaya Penderekan/Pemindahan Kendaraan Bermotor.
"Saat ini, Pergub tersebut difokuskan bagi kendaraan roda empat," ungkapnya.
Tidak hanya itu, tujuan akhir dari kebijakan ini, lanjut Putu, untuk mendorong pengendara mobil pribadi beralih ke transportasi umum sehingga polusi di DKI Jakarta dapat berkurang.
"Daripada bayar parkir mahal-mahal, lebih baik bermigrasi ke kendaraan umum. Kalau ingin melihat efektivitas kebijakan ini, menurut saya dapat dilihat dari bertambahnya kendaraan roda empat yang melakukan uji emisi di bengkel emisi. Berarti, mereka sudah mempertimbangkan kendaraan mereka agar bisa lulus emisi. Pemprov DKI nanti dapat mengevaluasi datanya dari bengkel emisi secara berkala. Hal lain yang juga perlu jadi rujukan efektivitas kebijakan tersebut adalah data tingkat polusi dari BMKG. Kalau sudah lulus uji emisi, standar sudah diikuti, diharapkan akan ada penurunan tingkat polusi dari sebelumnya,” jelas dia.
Putu juga menilai, kebijakan kenaikan tarif parkir sebenarnya bukan satu-satunya cara. Ia mengatakan, harus ada analisa, apakah tarif parkir sekarang sudah memberikan efek jera atau belum.
"Kalau belum, perlu dikaji lebih lanjut lagi berapa batas tarif yang benar-benar optimal untuk memberikan efek jera," tegas dia.
Sementara terkait solusi untuk masyarakat yang belum mampu membeli kendaraan baru atau masih merawat mobil lama, Putu mengatakan, Pemprov DKI bisa diberi solusi jangka pendek dengan subsidi. Namun, subsidi juga memiliki dampak negatif terutama jika dana subsidi yang diberikan berkurang atau tidak lagi tersedia.
"Subsidi dapat diberikan bagi kendaraan yang belum lulus uji emisi, yang notabene banyak dimiliki masyarakat menengah dan menengah ke bawah. Misalnya menggratiskan uji emisinya ataupun subsidi untuk perawatan dan penggantian perangkat kendaraan agar bisa lebih menghasilkan emisi yang lebih clean,” ujar Putu.
Disinggung mengenai akan maraknya parkir liar, Putu menegaskan hal itu sulit untuk dibendung jika tidak ada pengawasan yang tegas dari Pemprov DKI Jakarta. Ia juga mengingatkan tata kelola parkir dan perlunya sinergi antardinas dan lembaga.
Selain itu, Putu juga mengingatkan masyarakat untuk membuat keputusan ekonominya sendiri terkait parkir, baik legal maupun liar. Termasuk dampak dari pilihan masyarakat itu tadi.
"Karena ini bisa menjadi pisau bermata dua. Akan ada potensi tarif parkir liar lebih mahal dengan pungutan dilakukan dengan cara yang tidak sesuai norma sehingga tidak aman. Parkir liar juga menimbulkan kemacetan. Oleh karena itu, semua stakeholder harus ikut andil dalam identifikasi masalah, perumusan, implementasi, evaluasi untuk kebijakan kedepannya," imbuh Putu Rusta Adijaya.
Editor: Kurniati