PARBOABOA, Jakarta - Dalam menghadapi Pemilu 2024, ada keprihatinan serius terkait potensi kecurangan yang dapat mengancam harapan ekonomi dan integritas demokratis.
Hal itu menjadi kekhawatiran bagi Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta sekaligus Dewan Pakar Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN).
“Pemilu yang bersih dan transparan akan menciptakan fondasi politik yang stabil, memberikan kepercayaan kepada masyarakat dan pelaku bisnis, serta memastikan kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil berdasarkan aspirasi rakyat,” ujarnya melalui keterangan tertulis kepada PARBOABOA, Selasa (16/1/2024).
Ia menuturkan, pemilu dapat mencerminkan keinginan masyarakat terkait pembangunan ekonomi, pendidikan, infrastruktur, dan isu-isu krusial lainnya.
Namun itu bisa terealisasi jika pemilu bisa dilakukan secara fair dan transparan.
Perlu Capres dengan Kapasitas Ilmu Ekonomi yang Kuat
Achmad mengklaim bahwa penting Indonesia meninggalkan kebiasaan rezim yang tergantung pada utang luar negeri dan impor.
“Calon yang mampu memahami dan merumuskan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan akan menjadi kunci untuk membangun fondasi ekonomi yang kuat dan mandiri,” paparnya.
Termasuk kata dia, keterampilan dan kemampuan untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri akan menjadikan Indonesia menjadi negara dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan daya saing global, hingga memberikan manfaat jangka panjang bagi kesejahteraan.
“Pemilihan calon presiden dan wakil presiden dengan pemahaman mendalam tentang ekonomi dan keberanian untuk melakukan perubahan substansial menjadi kunci penting,” paparnya.
Kemandirian Kelola Sumber Daya Alam
Achmad mengatakan, Pemerintah harus sungguh mampu mengelola mandiri potensi sumber daya alam (SDA).
Jika harus melibatkan asing, perlu kehati-hatian sehingga tidak bergantung seperti yang sudah terjadi pada komoditas nikel, di mana China lebih banyak menerima manfaat hingga 90 persen.
Karenanya, penting memastikan batas kerjasama dengan asing pada investasi dan transfer teknologi. Kesepakatan bagi hasil (profit-sharing) menurutnya harus dirancang hingga memberikan keuntungan lebih besar bagi Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam tersebut.
“Indonesia dapat memaksimalkan manfaat ekonomi dari potensi sumber daya alamnya tanpa kehilangan kontrol atau terjebak dalam ketergantungan pada pihak asing,” paparnya.
Tantangan Nikel
Achmad melihat, cadangan nikel di Indonesia terancam tak tersisa seiring dengan penggalian cadangan nikel secara besar-besaran yang hanya menguntungkan China.
“Dengan estimasi tersisa sekitar 5,2 miliar ton baik jenis saprolit maupun limonit, yang diperkirakan hanya akan mencukupi selama 6-11 tahun lagi,” paparnya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, penipisan cadangan itu dikarenakan ekspansi fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter yang terus berkembang, di mana saat ini terdapat 44 smelter untuk pirometalurgi saprolit dan tiga smelter untuk hidrometalurgi limonit.
Adapun konsumsi tahunannya adalah sebesar 210 juta ton saprolit dan 23,5 juta ton limonit. Perluasan fasilitas pemurnian tersebut diketahui melalui pembangunan smelter baru yang masih dalam tahap konstruksi dan perencanaan menjadi kebutuhan mendesak.
Meskipun di sisi lain ada potensi tambahan sekitar 17 miliar ton nikel di luar green area yang belum dieksplorasi, namun perlu dipertimbangkan strategi berkelanjutan demi menghindari risiko menjadi pengimpor bijih nikel hingga beberapa waktu ke depan.
“Indonesia dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk diversifikasi ekonomi dan meningkatkan produktivitas sumber daya alam (SDA) di sektor lain,” sambungnya.
Selain itu perlu penyelarasan Undang-undang (UU) demi mencapai akselerasi penyerapan investasi dan proses industrialisasi. Serta segera ciptakan kepastian hukum dan keselarasan undang-undang yang mendukung.
Kondisi itu kata dia, perlu untuk menarik investor, menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif, dan meningkatkan daya tarik bagi industri.
Achmad menegaskan, semestinya Pemerintah tidak perlu membuat insentif-insentif yang merugikan negara, seperti mengumbar tax holiday, free royalti, pemberian HGU lahan dengan kontrak yang terlalu lama untuk investor asing dan lain-lain.
Tanggulangi Korupsi
Maraknya korupsi juga dapat merusak kepercayaan publik dan investor terhadap tata kelola pemerintahan.
Apalagi kondisi itu semakin memburuk dengan munculnya kasus penyalahgunaan anggaran proyek strategis nasional (PSN), sekitar 36,67 persen dari nilai total investasi proyek pusat senilai Rp1.515,4 triliun diperkirakan masuk dalam praktik korupsi.
“Fakta bahwa sejumlah dana mencapai ratusan triliun rupiah telah masuk ke kantong pribadi, melibatkan berbagai pihak dari ASN hingga politisi, menunjukkan tingkat korupsi yang mencapai proporsi yang mencemaskan,” sambung doa.
Praktik itu kata dia, tidak hanya menghancurkan integritas sistem pemerintahan, namun juga menciptakan dampak serius terhadap investasi dan kemajuan ekonomi nasional.
Menuju Ekonomi Terbesar
Achmad mengaku gelisah, sebab Indonesia perlu bertengger di urutan atas sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Hal itu, mulai dari infrastruktur yang masih perlu ditingkatkan, ketidakpastian regulasi dan kebijakan, ketergantungan pada komoditas ekspor.
Selain itu korupsi dan tata kelola pemerintahan, kualitas pendidikan yang masih tertinggal, ketidaksetaraan pembangunan antarwilayah.

Kemudian perubahan iklim dan kerentanan terhadap bencana alam, pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat, kesejahteraan sosial dan ketidaksetaraan, hingga keterbatasan akses ke finansial bagi masyarakat.
“Karenanya, Pemilu 2024 menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan,” tegasnya.