PARBOABOA, Pematang Siantar - Dinas Pendidikan (Disdik) Pematang Siantar, Sumatra Utara mencatat sebanyak 154 tindakan indisipliner dilakukan anak-anak sekolah sepanjang 2022-2023.
"Kita sudah berupaya semampu kami, dalam mengawasi dengan kepedulian bersama mengurangi siswa yang bolos dan penanggulangan masalah siswa bolos," kata Ketua Tim Patroli Sekolah Kasih Sayang (TPS-KS) Disdik Pematang Siantar, Abdul Rasyid kepada Parboaboa, Rabu (3/5/2023).
Menurutnya, penanganan terhadap tindakan indisipliner ini yaitu pembinaan, pemberian nasehat dan pemanggilan orang tua dan gurunya menjemput anaknya dari dinas.
“Kemudian dibuat surat perjanjian supaya tidak mengulangi lagi,” ungkap Abdul Rasyid.
Ia merinci, penanganan kasus siswa bolos dan tawuran terbanyak di April hingga Mei 2022. Hal itu berdasarkan inspeksi mendadak yang dilakukan Disdik Pematang Siantar setiap 2 kali seminggu.
"Untuk data terbanyak di bulan April hingga Mei tahun lalu, sebanyak 60 siswa sepanjang tersebut, dan 90 persen berasal dari siswa SMK (sekolah menengah kejuruan) sendiri," katanya.
Lapangan Merdeka, Pasar Horas, dan Pasar Parluasan menjadi titik pemantauan Tim Patroli Disdik.
"Kami sering dapatkan lagi siswa yg bolos baik di Pajak Horas, cafe-cafe tempat mereka nongkrong maupun di warnet-warnet di pusat kota, dan kami pasti melakukan penindakan," tegas Abdul.
Sementara itu, Pengamat Pendidikan, Ari S. Widodo Poespodihardjo menilai, banyaknya tawuran dan bolos sekolah yang dilakukan anak sekolah di Pematang Siantar karena banyaknya kompleksitas di masyarakat.
"Institusi sekolah memang ditujukan untuk memberikan pengarahan, pengetahuan dan juga pendidikan kepada siswa didik mereka. Namun sekolah memiliki banyak keterbatasan, sekolah terbaik pun seringkali sulit mengatur tindakan dari siswa mereka di luar lingkungan sekolah," katanya saat dihubungi Parboaboa, Rabu (3/5/2023).
Ari menjelaskan, faktor sosiologis seperti sosial, ekonomi, kohesivitas kelompok dan budaya identitas seringkali menjadi konflik antar siswa.
"Kompleksitas ini seringkali menimbulkan keruwetan karena sulit untuk membuat satu solusi normatif yang seragam untuk mengatasi masalah konflik antar pelajar misalnya," ucapnya.
Ia mengungkapkan, kondisi tiap sekolah di daerah sangat beragam. Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi kondisi mental siswa yang menyebabkan mereka kurang bersemangat bersekolah.
"Yang mungkin (idealnya) dilakukan adalah mencoba mencari akar permasalahan dari penyebab situasi yang terjadi. Terkhusus seringkali terkait sosial ekonomi masyarakat. Di samping itu usia remaja adalah usia rentan akan isu identitas dan saat kelompok memberikan identitas tersebut, maka remaja atau siswa akan bisa tergoda ke dalam potensi konflik antar kelompok," imbuh Ari S Widodo.