PARBOABOA, Jakarta - Kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi menolak keras rencana revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Mereka adalah Imparsial, ELSAM, Centra Initiative, PBHI, YLBHI, Public Virtue dan KontraS.
DPR sendiri berencana membahas revisi UU a quo pada 22 Mei 2024 mendatang. Namun koalisi mendesak rencana revisi tersebut dibatalkan sekaligus dievaluasi.
Dalam draf terakhir yang mereka terima pada April 2023 kemarin, koalisi mengaku mendapat sejumlah usulan perubahan pasal yang akan membahayakan kehidupan demokrasi.
Selain itu, substansi perubahan yang diusulkan pemerintah kata mereka, tidak memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya.
"Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI," kata Koalisi dalam rilis yang diterima Parboaboa, Senin (20/5/2024).
Berdasarkan draft yang ada, Koalisi mengendus beberapa usulan perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi dan negara hukum dan HAM, antara lain sebagai berikut:
Pertama, penambahan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang keamanan negara.
Koalisi mengatakan, upaya memasukan fungsi TNI bukan hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga keamanan negara dalam UU adalah sesuatu keliru.
Menurut Koalisi, di negara demokrasi fungsi militer adalah sebagai alat pertahanan negara yang dipersiapkan, dididik dan dilatih untuk perang.
Oleh karena itu meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara adalah keliru sekaligus membahayakan demokrasi.
Karena, demikian tegas mereka, "militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara."
Selain iu, penambahan fungsi militer sebagai alat keamanan negara sama saja memberikan cek kosong agar militer dapat masuk dalam menjaga keamanan dalam negeri.
Kedua, pencabutan kewenangan presiden untuk pengerahan kekuatan TNI.
Ketentuan tentang kewenangan presiden di atas harus tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut karena merupakan regulasi organik yang mengatur tentang TNI.
Apalagi, dalam pasal 10 UUD 1945 hasil amandemen, dengan tegas menyatakan, presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Dalam kedudukannya tersebut, pasal 14 UU No. 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara, Kembali menegaskan, presiden berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan TNI.
Maka ketika kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden dihapus, hal ini menjadi berbahaya.
Koalisi mengatakan, kalau ini tetap dipaksakan akan berpotensi meletakkan fungsi TNI kembali seperti di masa lalu, yakni dapat bergerak dalam menghadapi masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer tanpa melalui keputusan presiden.
Hal ini kata mereka melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi.
Ketiga, Penambahan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Usulan perubahan pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU TNI untuk menambah cakupan OMSP, menunjukan adanya keinginan politik memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.
Hal ini kata mereka dapat dilihat dari penambahan 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya hanya berjumlah 14.
Bahkan, beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika dan precursor.
Perluasan, terang Koalisi justru akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin dominan pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah.
Jika usulan perubahan ini diadopsi, akan sangat berbahaya karena membuat TNI menjadi tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR.
Dwi Fungsi ABRI
Adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI menduduki jabatan sipil juga dinilai koalisi masyarakat sipil sangat berbahaya.
Apa yang tercantum dalam draft RUU Pasal 47 point 2 itu menurut mereka dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru.
Penting diingat tegas Koalisi, pada masa Orde baru, dengan dasar doktrin Dwifungsi ABRI, militer terlibat dalam politik praktis dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya.
Lebih jauh, koalisi melihat adanya upaya perluasan ruang bagi perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru.
Kekeliruan tersebut, yakni banyaknya anggota TNI aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil di sejumlah instansi.
"Seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara," tegas mereka.
Diketahui Ombudsman RI mencatat setidaknya sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN.
Beberapa disebutkan, seperti perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh.
Berdasarkan sejumlah ketidakberesan tersebut di ataslah Koalisi meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI.
Sebab selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah substansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM.
Koalisi menekankan adalah lebih baik jika pemerintah saat ini memfokuskan pada penyelesaian pekerjaan rumah reformasi TNI yang tertunda.
"Seperti reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI," tegas mereka.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono menampik Revisi UU TNI dapat melemahkan demokrasi.
Secara spesifik ia menanggapi keberatan banyak pihak agar TNI tidak boleh mengisi jabatan sipil. Menurut dia TNI diberi tugas di sejumlah Lembaga/Kementerian karena memang punya kemampuan/skill.
Apalagi, demikian ia menambahkan, berbagai pembinaan fisik prajurit TNI sejak muda membuat tenaga mereka masih bisa dimanfaatkan.
"Jadi, tidak sekadar memasukkan prajurit aktif TNI ke jabatan-jabatan sipil," kata Julius.
Editor: Gregorius Agung