PARBOABOA, Jakarta - Junta Militer Myanmar terus menunjukkan tindakan represifnya terhadap kebebasan pers. Peristiwa terbaru nyatanya makin mengekspos kebrutalannya.
Pada Rabu (6/9/2023), seorang jurnalis foto dari Myanmar Now, Sai Zaw Thaike, dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun.
Vonis tersebut merupakan yang terberat yang pernah diberikan oleh pengadilan militer kepada seorang profesional media sejak junta merebut kekuasaan di Myanmar pada 2021.
Kisah tragis Sai bermula ketika dia dikirim untuk meliput dampak Topan Mocha pada awal Mei.
Namun, pada tanggal 23 Mei, dia ditangkap di Sittwe, ibu kota negara bagian Rakhine barat.
Selama penangkapannya, Sai mengalami interogasi intensif di Sittwe dan Yangon. Hingga pada bulan Juni, dia dipindahkan ke Penjara Insein Yangon.
Awalnya, Sai dihadapkan pada berbagai tuduhan, termasuk menyebarkan informasi yang salah, penghasutan, dan dakwaan berdasarkan Pasal 505a dalam hukum pidana Myanmar.
Pasal ini sering digunakan oleh pemerintah militer untuk membungkam jurnalisme independen dan kritis. Namun, daftar lengkap dakwaan yang dihadapinya belum sepenuhnya jelas hingga saat ini.
Ketidakadilan dan represi terhadap Sai semakin terlihat ketika dia tidak diberikan akses ke pendampingan hukum.
Keluarganya juga tidak diizinkan untuk mengunjunginya selama beberapa bulan setelah penangkapan.
Atas kasus ini, Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) dengan keras mengutuk hukuman yang diberikan kepada Sai.
Mereka mengungkapkan kecaman mereka terhadap tindakan sewenang-wenang junta militer terhadap jurnalis lainnya.
IFJ menyatakan bahwa vonis terhadap Sai mencerminkan tindakan berlebihan dari rezim yang harus bertanggung jawab atas pelanggaran berat hak asasi manusia terhadap warga negaranya.
Mereka mendesak komunitas internasional, organisasi hak asasi manusia, dan media untuk meningkatkan upaya dalam mengakhiri serangan berkelanjutan junta militer terhadap kebebasan pers.
Junta Militer dan Kebebasan Pers di Myanmar
Myanmar, sebuah negara di Asia Tenggara, telah terperosok dalam kekacauan sejak kudeta militer pada Februari 2021.
Pada saat itu, militer menjatuhkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, penerima Nobel Perdamaian.
Tindakan militer tidak hanya mencakup penahanan dan pembunuhan ribuan orang yang menentang rezim, tetapi juga kampanye terus-menerus untuk merenggut hak asasi manusia dan membatasi kebebasan berekspresi dan media independen.
Menurut berbagai organisasi hak asasi manusia, hingga tanggal 7 September, setidaknya 72 pekerja media telah dipenjara di Myanmar.
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) pada tahun 2022 bahkan menempatkan Myanmar sebagai negara dengan jumlah jurnalis yang dipenjara tertinggi ketiga di dunia, setelah China dan Iran.
Sementara menurut data dari Kelompok Jurnalis yang Ditahan (Detained Journalist Group), lebih dari 150 jurnalis Myanmar telah ditangkap. Empat pekerja media juga dilaporkan tewas sejak kudeta militer terjadi.