Survei SETARA Institute Jumlah Siswa Menengah Atas Intoleran Meningkat di 2023

Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengungkapkan, tingkat intoleransi remaja berbasis sekolah menengah atas semakin meningkat pada tahun 2023. (Foto: Dok SETARA Institute)

PARBOABOA, Jakarta - Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengungkapkan, tingkat intoleransi remaja berbasis sekolah menengah atas semakin meningkat pada tahun 2023 ini.

Halili mengatakan, apabila menilik hasil data rise terbaru SETARA yang dilakukan di lima kota terpilih pada Januari-Februari 2023, jumlah pelajar intoleran aktif di sekolah tingkat menengah atas (SMA) dan sederajat meningkat dari 2,4 persen pada 2016 lalu menjadi menjadi 5,0 persen.

Selain itu, angka pelajar yang terpapar ekstremisme kekerasan juga ikut naik. Sebelumnya 0,3 persen di tahun 2016, menjadi 0,6 persen pada survei tahun 2023.

Menurutnya, meningkatnya level intoleransi dan keterpaparan ekstremisme kekerasan generasi muda ini, menunjukkan masih rendahnya kinerja pembumian dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila.

Oleh karena itu, dia menyebut perlu substansiasi pada program-program pembinaan dan implementasi Pancasila di tiga pusat (tri sentra) pendidikan, yaitu lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Karena menurutnya, selama ini kinerja pembinaan dan impelementasi Pancasila di kalangan anak muda lebih banyak bersifat simbolik dan festivalis.

4 Kasus Pelanggaran Atas Kebebasan Beragama di Tahun 2023

Tak hanya mengenai peningkatan tingkat intoleransi di tengah pelajar, Halili mengatakan, di tengah masyarakat masih kerap terjadi berbagai peristiwa intoleransi dan pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB).

Di 2023 ini, Halili mengungkapkan ada empat pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi. Dua kasus bahkan terjadi pada hari yang sama, Jumat (19/05/2023), yaitu pembubaran ibadah Gereja Mawar Sharon (GMS) Binjai di Kelurahan Satia, Kecamatan Binjai Kota, Kota Binjai, Sumatra Utara, dan pembubaran ibadah di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Gihon di Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau.

Kemudian kasus ketiga, yaitu terjadinya pembubaran aktivitas pendidikan Agama Kristen di Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat pada Minggu (28/05/2023).

Terakhir, pada Selasa (30/5/2023) terjadi pembakaran Balai pengajian milik Muhammadiyah di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen. Sebelum pembakaran tersebut, sudah lebih dahulu terjadi penolakan pembangunan masjid Taqwa Muhammadiyah di desa setempat.

Menanggapi hal ini, Halili menyampaikan kecamannya atas peristiwa intoleransi dan pelanggaran KBB tersebut, terutama karena pembiaran yang dilakukan oleh negara, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah.

Sebab, dalam berbagai kasus intoleransi dan pelanggaran KBB, nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Kesatu, di tanah air lebih sering dikalahkan dan dikorbankan justru oleh aparatur negara sendiri.

Padahal menurutnya, pemerintah harus mengambil peran proaktif dan tidak tunduk kepada tekanan kelompok-kelompok intoleran, agar berbagai pelanggaran KBB atas minoritas dapat dicegah serta diselesaikan dengan baik.

Editor: Rini
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS