PARBOABOA, Jakarta- Masyarakat perdesaan di Jawa masa kuasa Jepang (1942-1945) mengalami perubahan sosial sebagai akibat dari kebijakan perang Asia Timur Raya. Jepang mengeksploitasi masyarakat desa Jawa demi dukungan sumber daya alam dan manusia. Perubahan sosial pun terjadi, menyeruak perlawanan, dan pemberontakan.
Pulau Jawa diduduki oleh Jepang selama tiga setengah tahun semasa Perang Dunia II. Jepang melakukan beragam kebijakan atas masyarakat desa. Demi memperoleh sumber daya ekonomi dan manusia biar mendukung operasi militer Jepang.
Tak ayal, bila produksi dan distribusi panen, serta bahan komoditas ditempatkan dibawah kontrol pemerintah, lalu prioritas pasokan untuk pasukan militer.
Pemerintah militer Jepang membuat berbagai program biar menarik dukungan rakyat di desa. Demi melancarkan kebijakan ini, kerja sama dengan seluruh rakyat merupakan hal pokok sekaligus membentuk pemikiran dan tingkah laku mereka.
Jepang memberikan bantuan kepada guru-guru agama supaya mengerahkan massanya, Jepang memecat kepala pemerintahan daerah atau pangreh raja tidak taat, Kemarahah rakyat kepada kepala desa bekerja sama dengan Jepang.
Semua kebijakan Jepang itu merupakan strategi politik menghasilkan nilai budaya serta kepercayaan baru.
Namun, mengakibatkan masyarakat mengalami kegoncangan tidak pernahdialami sebelumnya: eksploitasi sumber daya ekonomi menyebabkan meratanya kemiskinan secara luar biasa, perekrutan tenaga kerja pedesaan sebagai romusha berefek terganggunya kegiatan pertanian, jarak antara berbagai kelompok sosial kian tajam.
Buku: Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 terdiri atas 10 bab. Penerbit: Komunitas Bambu, Januari 2015, (616 halaman). Pada tiap bab menganalisis beragam hal.
Yaitu, mulai soal perubahan bidang pertanian khususnya kebijakan menggandakan hasil bahan makan, sistem wajib serah padi, masalah romusha, menyinggung lembaga baru diperkenalkan kepada masyarakat desa, usaha propaganda Jepang kepada penduduk melalui hiburan film.
Aiko Kurasawa mengungkapkan, bahwa menyelesaikan penelitian di lapangan pada 1981. ia membutuhkan waktu 5 tahun lagi untuk menulis disertasi dalam Bahasa Inggris. Aiko akhirnya selesai menulis pada 1987.
“Total selama 17 tahun selesai,” ujarnya saat mengulas isi buku yang dihadiri oleh penulis, saat diskusi buku ini di Freedom Institute, Jumat 27 Februari 2015 silam.
Adapun buku Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 adalah cetakan ulang dari judul awal Mobilasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial Pedesaan Jawa 1942-9145 terbit pada 1994 silam.
Sosok Prof. Nugroho Notosusanto, ketika itu yang menguasai kajian sejarah Indonesia Menurut Aiko, tidak akan melupakan jasanya. Sebab, Prof. Nugroho Notosusanto yang memberinya bantuan ijin dari LIPI untuk melakukan penelitian ke desa di Jawa.
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, terkait cetakan ulang buku Aiko Kurasawa. Ia mengatakan, sangat menarik, bahwa membangun suatu daerah itu harus mulai dari desa atau pinggiran.
Hal ini terkait menandakan pemerintah sekarang sudah kembali mulai memperhatikan keberadaan “Wong Cilik” dengan adanya UU No. 6 Tahun 2014.
“Jangan sampai dikeluarkan UU Desa tidak sekedar berbicara angka bantuan kepada desa,” ungkap Susanto Zuhdi.
Melainkan, Zuhdi melanjutkan, apakah mampu pemerintah benar-benar membangun desa. Sejurus kemudian, kebijakan otonomi daerah itu sesungguhnya sukses atau gagal?
“Selama ini desentralisasi bukan hanya melayani. Tapi, harus menyejahterakan orang desa,” ujarnya.
Susanto Zuhdi berujar lagi, bahwa dalam buku ini mendapat sebuah pelajaran sejarah sedari jaman Jepang. Desa menjadi perhatian demi suatu kepentingan ketika saat perang berlangsung. Lantas, berujung terjadi perlawanan, penyebabnya ketidakpuasan adanya tindakan penindasan. Pemerintah wajib memberi perhatian kepada desa.
“Jangan durhaka terhadap sejarah,” ungkapnya.
Sejarah tidak melulu mencatat kenangan kelam saat Jepang berkuasa di Indonesia selama 3 tahun di perdesaan Jawa. Ada pula kenangan indah berupa pembentukan karakter bangsa yang tidak mau lagi sebagai bangsa inferior.
Pembela Tanah Air (PETA) hadir sebagai pendidikan dan pelatihan ribuan pemuda Indonesia dengan pasukan Heiho. Tak muluk-muluk, biar melawan kembali Belanda ke tanah air kurun waktu 1945-1949.