PARBOABOA, Jakarta - Organisasi Jamaah Islamiyah (JI) membubarkan diri pada Minggu (30/6/2024).
Langkah ini mengakhiri keberadaan organisasi yang telah berdiri selama lebih dari tiga dekade dan memiliki sejarah panjang serta kompleks.
Diketahui, JI merupakan organisasi yang awalnya dibentuk untuk menegakkan negara Islam di Indonesia.
Organisasi ini kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena memiliki tujuan untuk mengganti dasar negara Indonesia.
Pengadilan Jakarta Selatan menetapkan pelarangan JI melalui Surat Nomor: 2191/PID.B/2007/PN.JKT.SEL pada 21 April 2008.
Ketua Majelis Fatwa JI, Imtihan, menyatakan bahwa pembubaran ini didasarkan pada perubahan cara pandang organisasi.
Sebelumnya, JI menganggap bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, namun juga tidak sepenuhnya dianggap sebagai negeri kufur.
Pandangan ini membuat mereka bersikap memusuhi sistem pemerintahan di Indonesia.
Namun, organisasi yang terlibat dalam beberapa aksi teror ini akhirnya mengubah pandangan mereka dan menganggap NKRI sebagai negeri Islam warisan ulama.
Negeri seperti Indonesia ini bukan darul kufur, jelasnya, tapi juga bukan darul Islam, sehingga sikapnya pun berbeda.
Ia menambahkan, kalau darul kufur sikapnya perang, “kalau darul Islam berarti taat penuh," kata Imtihan, bulan Juli lalu.
Saat tokoh senior JI, mengumumkan pembubaran, pihaknya juga mengungkapkan keinginan kelompok ini kembali ke pangkuan NKRI.
Sejarah berdirinya JI
JI didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir pada 1993, seperti dicatat dalam buku NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia karya Solahudin.
Keduanya merupakan mantan tokoh Darul Islam (DI) yang direkrut oleh Ismail Pranoto (Hispran) pada 1976.
Saat itu, Hispran aktif melakukan kaderisasi di Jawa Tengah. Abdullah Sungkar, yang juga pengurus Pesantren Al Mukmin Ngruki di Sukoharjo, memiliki pandangan yang menekankan kemurnian tauhid dan penegakan syariat Islam.
Sungkar bertemu dengan Baasyir melalui hubungan perdagangan. Sungkar yang sering membeli kain dari keluarga Baasyir, akhirnya menjalin persahabatan dengan Abu Bakar Baasyir, seorang lulusan Pondok Pesantren Gontor.
Keduanya aktif dalam Pemuda Al Irsyad Solo dan mendirikan Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (Radis) setelah meninggalkan Radio Dakwah Islam ABC.
Pada 1972, Sungkar dan Baasyir mendirikan Pondok Pesantren Al Mukmin di Sukoharjo.
Pesantren ini kelak dikaitkan dengan jaringan teror Al Qaeda di Asia Tenggara berdasarkan laporan lembaga internasional International Crisis Group (ICG).
Pembentukan JI tak terlepas dari warisan ideologi Darul Islam (DI). DI/TII didirikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 1949 sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap proses demokrasi era Presiden Soekarno.
Organisasi ini dikenal melancarkan pemberontakan di berbagai daerah Indonesia, meskipun akhirnya berhasil ditumpas oleh TNI pada 1962.
Pasca-eksekusi pendiri DI, Kartosoewirjo, upaya untuk menghidupkan organisasi kembali muncul.
Pembatasan aktivitas politik Islam di era Orde Baru menjadi salah satu penyebab munculnya organisasi baru seperti JI.
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir, setelah ditangkap dan dipenjara karena menentang Pancasila, akhirnya melarikan diri ke Malaysia pada 1985.
Pada 1993, Sungkar dan Baasyir mendirikan JI di Malaysia. Organisasi ini mengadopsi struktur kepemimpinan yang tertata melalui Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah (PUPJI) pada 1995, menjadikan Abdullah Sungkar sebagai pimpinan tertinggi.
Terlibat Aksi Teror
JI dikaitkan dengan berbagai aksi teror di Indonesia. Salah satu insiden terbesar adalah Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang.
Selain itu, serangkaian aksi lainnya seperti bom di Kedutaan Besar Australia (2004) dan JW Marriot (2009) juga dikaitkan dengan JI. Dari 2002 hingga 2021, 876 anggota JI telah ditangkap.
Kendati mengalami tekanan, JI tetap beradaptasi. Penelitian Kumar Ramakrishna menunjukkan bahwa di bawah kepemimpinan Para Wijayanto (2009–2019), JI berfokus pada dakwah Islam dan membangun basis ekonomi melalui strategi tamkin.
Jaringan organisasi ini meluas ke sektor ekonomi, pendidikan, dan badan amal.
Transformasi JI menunjukkan pergeseran strategi. Mereka kini lebih terorganisir dan berupaya masuk ke bidang politik.
Hal ini menandai perbedaan signifikan dibandingkan sikap awal mereka yang menolak keterlibatan politik secara terbuka.
Pembubaran JI menandai babak baru bagi organisasi yang memiliki sejarah panjang ini.
Keputusan mereka untuk menghentikan operasional dan kembali ke pangkuan NKRI mencerminkan perubahan signifikan dalam perjalanan mereka.