PARBOABOA, Jakarta - Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 di Mahkamah Konstitusi terus berlanjut.
Dalam sidang ini, Pakar Ekonomi Basri Faisal dihadirkan oleh Tim Hukum Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebagai ahli.
Dalam pemaparan materinya, yang mengusung tema, "Bansos Menjelang Pemilu 2024 Sangat Ugal-Ugalan untuk Memenangkan Prabowo-Gibran", Faisal menyoroti politik gentong babi atau pork barrel politics.
"Teori ini tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat (AS)," jelasnya di sidang Mahkamah Konstitusi, Senin (1/4/2024).
Pork barrel politics di negeri Paman Sam itu berupa proyek-proyek mercusuar seperti jembatan dan sebagainya.
Sementara di Indonesia, politik gentong babi meliputi sembako yang dibagikan lewat program bantuan sosial atau bansos.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, praktik pork barrel politics di negara-negara berkembang menjadi berbeda karena pendapatannya masih rendah, angka kemiskinannya tinggi.
Memahami Politik Getong Royong
Menurut Antonius Saragintan dan Syahrul Hidayat dalam buku "Politik Pork Barrel di Indonesia" (2011), politik gentong babi dipahami sebagai usaha petahana untuk menggelontorkan dan mengalokasikan sejumlah dana dengan tujuan tertentu.
Dalam konteks politik, "tujuan" merujuk pada usaha untuk terpilih dan menjabat kembali.
Sementara Perludem.org, dalam artikel "Bahaya Politik Gentong Babi di Pilkada", mengatakan bahwa pemberian bantuan sosial menjelang pemilu termasuk jenis pork barrel atau politik gentong babi.
Dilansir dari Investopedia, Rabu (3/04/2024), istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1700-an.
Pada tahun tersebut, sebelum adanya pendingin, daging babi diasinkan dan diawetkan dalam tong kayu yang masing-masing dapat menampung lebih dari 30 galon.
Pemandangan bagaimana daging babi tersebut mudah "mencelupkan diri ke dalam gentong" dipahami sebagai gambaran dari rakyat yang “tercelup” dan menjadi bagian dari praktik politik uang dalam jumlah yang besar.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh penulis dan sejarawan Edward Everett Hale, pada 1863 melalui cerita "The Children of the Public".
Dalam kurun waktu sepuluh tahun setelah itu, istilah politik gentong babi ini mengalami perluasan makna yakni, pengeluaran dana publik oleh seorang politisi untuk kepentingan sekelompok kecil orang dengan tujuan untuk memperoleh dukungan dalam bentuk suara atau sumbangan kampanye.
Kemudian pada era modern, istilah ini lebih dipahami sebagai suatu kegiatan pembelanjaan.
Pembelanjaan dalam gentong babi memiliki makna pembelanjaan yang sia-sia pada proyek-proyek pekerjaan umum lokal yang nilainya meragukan.
Selain itu, pembelanjaan ini dinilai sebagai usaha mengeluarkan dana dalam rangka politik elektoral.