Fenomena Brain Drain pada Lulusan LPDP Luar Negeri

Ilustrasi penerima program beasiswa LPDP abroad yang memilih tidak kembali ke Indonesia (Foto: Unsplash)

PARBOABOA, Jakarta - Program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang dirintis sejak 2011 silam kini mendapat sorotan luas.

Pasalnya, alumni yang lulus program LPDP luar negeri (abroad) sebagian diketahui tidak lagi pulang ke Indonesia. 

Catatan LPDP menyebut, dari jumlah 35.536 penerima beasiswa (awardee), sebanyak 413 awardee yang memilih tetap tinggal di luar negeri. 

Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, menyayangkan jika ada lulusan program tersebut yang lebih memilih berkarier di luar negeri setelah menyelesaikan pendidikan mereka.

Saan menekankan pentingnya para penerima beasiswa LPDP untuk memprioritaskan pengabdian mereka bagi kepentingan bangsa. 

Pernyataan ini disampaikan Saan menanggapi komentar Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro. 

Satryo bilang bahwa penerima beasiswa LPDP yang menempuh studi di luar negeri tidak diwajibkan untuk kembali ke tanah air. Mereka dapat berkarya dan berkontribusi bagi bangsa melalui prestasi internasional.

"Kami memberikan kebebasan untuk berkarya di mana saja. Meski tidak pulang, jika mereka berprestasi, bekerja di perusahaan ternama, atau menciptakan inovasi di luar negeri, hal itu tetap membawa nama Indonesia," kata Satryo, Selasa (5/11/2024).

Ia juga menjelaskan bahwa ketidakharusan untuk kembali mengabdi di dalam negeri disebabkan belum optimalnya peluang yang tersedia bagi para alumni untuk bekerja sesuai keahlian mereka. 

Komentar Satryo menuai protes. Saan pada Sabtu (09/11/2024) dengan tegas menyebut bahwa para lulusan LPDP di luar negeri "lebih baik mengabdi di dalam negeri." 

"Banyak kebutuhan yang bisa dipenuhi di sini. Meskipun tidak ada larangan bagi mereka yang ingin berkarier di luar negeri, prioritas tetaplah mengabdi di dalam negeri," lanjut Saan.

Ia menegaskan bahwa tujuan utama program LPDP adalah untuk memperkuat kualitas sumber daya manusia (SDM) bagi manusia-manusia dalam negeri. 

Sebab, LPDP didukung anggaran dan pajak dari dalam negeri, sehingga wajar jika ada harapan agar hasil investasi tersebut dapat memberikan manfaat bagi Indonesia.

"LPDP bertujuan meningkatkan mutu SDM melalui program pendidikan jenjang S2, S3, dan seterusnya. Harapannya, lulusan program ini bisa berkontribusi secara nyata bagi bangsa dan negara," pungkasnya.

Saan berharap, para penerima beasiswa LPDP bisa menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengabdi di tanah air, demi memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno, menekankan bahwa negara memiliki hak untuk menerima timbal balik dari investasi pendidikan melalui beasiswa LPDP.

Meski demikian, pemerintah diketahui belum membahas rencana pengelolaan LPDP di masa mendatang.

"Kami belum membahas secara rinci tentang LPDP ke depan. Namun, pemerintah telah menginvestasikan dana besar dalam pengembangan SDM, mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi. Maka, wajar jika negara mengharapkan return dari investasi tersebut," ujar Pratikno, Rabu (06/11/2024).

Ia menekankan bahwa investasi pendidikan oleh negara memiliki tujuan membangun bangsa dan memajukan masyarakat.

Fenomena Brain Drain

Menanggapi isu tersebut, Pakar Sosiologi dari Universitas Airlangga (Unair), Tuti Budirahayu, membagi penerima beasiswa LPDP yang tidak kembali ke Indonesia ke dalam dua kategori. 

Kategori pertama mencakup alumni yang melanggar aturan LPDP secara terang-terangan, seperti tidak membayar ganti rugi selama masa studi atau tidak kembali ke tanah air setelah lulus. 

“Ini merupakan pelanggaran serius. Dalam sosiologi, tindakan ini doisebut penyimpangan, yakni perilaku yang menentang aturan atau hukum  sehingga layak mendapat hukuman," ungkapnya.

Sementara itu, kategori kedua meliputi alumni yang menyelesaikan studi lalu memilih bekerja atau menikah dengan warga negara asing. 

Meskipun tidak kembali ke Indonesia, mereka tetap memenuhi kewajiban, seperti membayar denda atau menyelesaikan persyaratan terkait pelanggaran yang ada. Kategori kedua ini disebutnya dengan istilah "brain drain."

Tuti menjelaskan bahwa brain drain adalah fenomena perpindahan tenaga intelektual, ilmuwan, dan cendekiawan yang meninggalkan negara asalnya dan menetap di luar negeri. 

Kondisi ini terjadi ketika individu yang memiliki keahlian dan kecerdasan lebih memilih untuk mengembangkan kariernya di luar negeri alih-alih berkontribusi bagi negara asal. 

Alasan di balik keputusan tersebut, antara lain kesejahteraan yang lebih baik di luar negeri, gaji yang jauh lebih tinggi, atau karena mereka direkrut negara lain berdasarkan keahliannya. 

“Ada juga yang tidak dapat kembali karena alasan politik, atau karena memang itu pilihan hidup mereka," jelasnya.

Tuti menekankan bahwa brain drain tidak hanya terjadi pada penerima LPDP. Mereka yang menempuh pendidikan di luar negeri dengan biaya pribadi juga sering kali memilih untuk tidak kembali ke Indonesia.

Menurutnya, untuk mengatasi masalah brain drain, pemerintah Indonesia perlu membuat kebijakan yang mendukung keberlanjutan lulusan LPDP luar negeri. 

Bila semakin banyak tenaga profesional yang memilih berkarier di luar negeri, salah satu faktornya bisa jadi karena kurangnya apresiasi di Indonesia. 

Apresiasi tersebut dapat berupa penghasilan yang mumpuni, lingkungan kerja yang mendukung, dan pengakuan terhadap bidang keahlian yang mereka geluti.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS