PARBOABOA – Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2023 mengungkap suhu dunia akan naik hingga 2,9 derajat Celsius pada tahun 2100.
Hal ini jika tren emisi gas rumah kaca saat ini masih terus berlanjut. Beberapa ahli dalam studi terbaru memperkirakan fenomena iklim El Nino Ekstrem akan menjadi new normal atau peristiwa biasa yang terjadi hampir setiap saat.
Dilansir dari laman Live Science, Sabtu (13/07/2024), studi terbaru menunjukkan bahwa jika planet bumi menghangat sedikit lebih dari 2,9 derajat Celsius, maka 90 persen El Nino akan menyaingi El Nino terkuat dalam sejarah. Seperti yang terjadi antara tahun 1997 dan 1998.
Saat itu, fenomena El Nino berakibat sebanyak 23 ribu kematian dan miliaran Dollar kerusakan akibat badai, kekeringan, banjir dan wabah penyakit, menurut perkiraan tahun 1999 yang terbit dalam Jurnal Science.
Penulis utama studi ini, Tobias Bayr mengatakan jika kondisi di mana setiap El Nino adalah El Nino Pasifik Timur yang ekstrem maka akan ada dampak sosial ekonomi yang sangat besar di wilayah Pasifik.
Diketahui, perubahan iklim terhadap siklus El Nino dan La Nina masih menjadi perdebatan. Beberapa model awal menunjukkan dunia yang memanas mungkin akan mengalami El Nino secara permanen.
Dengan angin pasat yang berhembus di sekitar khatulistiwa melemah dan perairan di Pasifik Timur menjadi lebih hangat.
Pemanasan lautan ini memiliki dampak iklim dan cuaca yang luas. Panas dari air, bocor ke atmosfer, mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata global.
Aliran jet di atas Amerika Utara bergerak ke selatan, mengeringkan Pasifik Barat Laut dan menyebabkan peningkatan curah hujan di bagian selatan Amerika Serikat.
Beberapa dampak yang paling mengerikan terjadi di Belahan Bumi Selatan, dengan curah hujan yang ekstrem di Amerika Selatan. Ditambah kekeringan serta kebakaran hutan di seberang Pasifik.
Namun, tidak semua model iklim setuju bahwa El Nino permanen adalah dampak dari perubahan iklim.
Tobias Bayr dan rekan-rekannya menggunakan model iklim yang sangat baik dalam merepresentasikan pola siklus El Nino atau La Nina yang kompleks.
Mereka menemukan bahwa pemanasan global tidak menyebabkan El Nino permanen. Melainkan, kondisi El Nino yang lebih kuat dan lebih sering terjadi.
Dalam kondisi saat ini, model tersebut memprediksi delapan atau sembilan El Nino ekstrem per abad.
El Nino ekstrem didefinisikan berdasarkan jumlah curah hujan di Pasifik tropis tengah selama musim dingin di Belahan Bumi Utara.
Dengan pemanasan mencapai 6,6 Fahrenheit, angka ini meroket menjadi 26 El Nino Ekstrem setiap 100 tahun, dengan osilasi empat tahunan yang hampir teratur.
Dalam kondisi ini, para peneliti menemukan 90,4 persen El Nino akan menjadi ekstrem menurut standar saat ini.
Kondisi ekstrem ini disebabkan kondisi ekstra hangat di Pasifik Timur di atas khatulistiwa. Itulah yang ditunjukkan oleh model tersebut.
Penemuan yang diterbitkan pada 4 Juli di jurnal Geophysical Research Letters ini hanya berasal dari satu model.
Oleh karena itu, Tobias Bayr mengingatkan perlunya konfirmasi ulang dengan model iklim lainnya.
Akan tetapi, penelitian ini membuka kembali pertanyaan apakah El Nino merupakan titik kritis dalam sistem iklim.
Titik kritis iklim adalah kondisi yang berubah dengan cepat dalam kondisi iklim baru namun tidak mudah berbalik jika suhu mendingin kembali.
Penelitian yang dilakukan Tobias Bayr dan timnya itu justru menunjukkan hal ini mungkin terjadi pada El Nino yang tidak akan pulih ke pola yang lebih normal selama lebih dari satu abad jika berubah menjadi versi yang sangat ekstrem dari siklus.
Editor: Fika