PARBOABOA, Pematangsiantar – Politik Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) menjadi isu yang sangat sensitif, terutama dalam pemilihan umum.
Pengalaman beberapa kali pemilu dan pemilukada di Indonesia telah mengungkap tabir gelap penggunaan praktik ini.
Dengan mengeksploitasi isu-isu SARA, ada semacam upaya meraih tujuan politik tertentu dengan mengandalkan segala cara meski harus bertentangan dengan asas-asas demokrasi.
Di tengah gejolak seperti itu, Kota Pematangsiantar disebut berhasil menghindari jebakan Politik SARA, sehingga kondusivitas dan harmonisasi antara sesama warga di tengah perbedaan pilihan politik tetap terjaga.
Menurut Koordinator Divisi Humas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Pematangsiantar, Frenki, situasi ini terbentuk karena masyarakat betul-betul menjaga nilai toleransi dalam kehidupan bersama.
"Potensi munculnya Politik SARA di kota ini sangat kecil, karena kentalnya nilai kekeluargaan dan tingginya tingkat toleransi di kalangan masyarakat," kata Frenki kepada Parboaboa, Rabu (22/2/2024).
Namun demikian, kondisi ini bukan kebetulan semata. Frengki mengatakan, bawaslu dan berbagai pihak terkait telah melakukan langkah-langkah strategis, menjalin koordinasi intensif menjaga kedamaian dengan tokoh-tokoh agama, budayawan dan masyarakat.
Frenki, dalam pernyataannya, juga menekankan komitmen Bawaslu dalam menangani isu politik SARA dengan cepat dan tegas.
Ia menegaskan, setiap laporan yang masuk dari masyarakat akan segera diproses, memastikan keamanan politik dan keselamatan masyarakat tetap stabil.
Lebih lanjut, Frenki juga memberikan gambaran tentang tingkat toleransi di Pematangsiantar. Menurutnya, meskipun kota ini tidak lagi menjadi yang tertinggi dalam hal toleransi, hal tersebut bukanlah indikasi penurunan.
Fenomena ini disebabkan oleh kemunculan kota-kota lain yang memiliki tingkat toleransi lebih tinggi.
"Jadi menurut saya, tingkat toleransi di Pematangsiantar masih tetap tinggi dan tidak mengalami penurunan," katanya.
Politik SARA dan Pancasila
Dalam keterangan terpisah, Pengamat Politik, Dadang Darmawan Pasaribu, mengatakan bahwa Politik SARA tetap ada di Pematangsiantar, yang ditandai dengan adanya kecenderungan memilih pemimpin berdasarkan suku, agama dan ras.
Hanya saja, saat ini, eskalasinya tidak dipublikasi dan pertemuan para tokoh dibaliknya dilakukan secara tertutup.
Meski begitu, Dadang menekankan bahwa politik SARA tidak selalu harus dipandang negatif. Baginya, yang penting adalah tidak berhenti hanya pada aspek primordial semata.
"Politik SARA tidak harus dipersoalkan, jika ia tidak berhenti di SARA itu sendiri," katanya kepada PARBOABOA, Rabu (22/2/2024).
"Tidak ada salahnya memilih berdasarkan kesamaan agama dan suku. Tapi jangan berhenti di kemelekatan purbawi atau primordial kita," tambahnya.
Dadang memahami bahwa faktor-faktor seperti agama dan suku dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan pilihan politik, namun menegaskan pentingnya mempertimbangkan aspek kualitatif.
"Semisal, pilihlah orang beragama yang 'jujur' dan 'tidak korupsi' untuk memimpin. Harus ada landasan kualitatifnya. Jika orang memilih hanya karena seagama tanpa melihat latar belakang dan rekam jejaknya, itulah yang akan menghancurkan bangsa kita," ungkapnya.
Tak hanya itu, ia juga mengingatkan efek negatif politik SARA yang bisa menutupi keburukan. Kesalahan-kesalahan penjahat bisa diselesaikan atau ditutupi hanya dengan memakai atribut-atribut agama.
"Jadi, SARA itu berbahaya ketika tidak disertai elemen kualitatif," jelasnya.
Ia menambahkan, satu-satunya cara untuk menghindari dampak negatif politik SARA adalah dengan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah negara.
Menurutnya, Pancasila menggambarkan kebaikan dari seluruh agama, suku, dan budaya. "Harusnya kita bersandar pada Pancasila. Tidak akan tercedarai agama dan suku apa pun di Pancasila. Semua nilai ada di Pancasila."
Dadang melihat masih banyak orang yang belum sepenuhnya memahami dan menerapkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Padahal dengan betul-betul menjiwai serta memahami nilai-nilai Pancasila, dapat mencegah politik SARA yang menghancurkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang telah dibangun selama ini.
Dalam kesempatan itu, Dadang turut mengurai perbedaan mendasar antara demokrasi dengan republik serta relevansinya dengan realitas politik Indonesia saat ini.
Ia mengawali penjelasannya dengan mengurai pandangan-pandangan filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang mengusulkan konsep 'Republik' sebagai alternatif terhadap demokrasi yang dianggap memiliki kelemahan.
"Mereka (Socrates, Plato, dan Aristoteles) mengusulkan yang namanya 'Republik'. Sayangnya, kita enggak paham itu," katanya.
Ia menjelaskan, demokrasi merupakan pemerintahan yang berasal dari rakyat berdasarkan kekuasaan, sedangkan republik merupakan pemerintahan berasal dari rakyat berdasarkan konstitusi atau hukum.
Dalam demokrasi, kekuasaan seringkali digunakan untuk kepentingan pribadi, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip moral dan hukum.
"Orang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan. Makanya ada pepatah lama mengatakan bahwa kekuasaan itu cenderung korup," katanya.
Dadang juga mengingatkan bahwa demokrasi dipraktekkan hari-hari ini adalah demokrasi yang dihindari oleh Plato. Di mana semua rakyat memilih pemimpinnya bukan berdasarkan faktor-faktor kualitatif, tapi karena suara terbanyak.
Implikasinya demokrasi digenggam oleh orang-orang kaya dan mereka yang punya akses ke kekuasaan.
"Ini semua sudah diprediksi para filsuf Yunani dulu. Mereka mengatakan bahwa orang-orang baik nantinya akan hilang, digantikan orang yang punya kekuasaan yang tidak baik untuk memimpin," tutupnya.