PARBOABOA, Jakarta – Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin menjadikan China sebagai percontohan negara yang paling baik dalam mengatasi polusi udara.
Meskipun niatnya untuk mengejar Beijing Olympic, tapi China membuktikan bahwa mereka mampu mengatasi polusi udara.
Kemampuan tersebut berupa penurunan polusi udara yang terbilang cepat, yakni 6-7 tahun saja. Padahal, di negara lain memperbaiki kualitas udara membutuhkan waktu selama 20-25 tahun.
Menkes kemudian membeberkan sejumlah langkah China dalam melakukan upaya penurunan polusi udara di wilayahnya.
Mula-mula China memasang ribuan alat monitor dengan kualitas sedang di sejumlah titik. Kendati tak mahal, tapi jangkauannya dapat meliputi seluruh kota.
Kemudian, jika terlihat ada salah satu titik yang menunjukan kualitas udara buruk, maka pemangku kepentingan di China akan mengirimkan tim.
Tim tersebut selanjutnya bakal melakukan pencarian terhadap sumber polusi, seperti pembakaran sampah, PLTU atau transportasi.
Lalu, China akan melakukan intervensi polusi yang lebih tepat karena telah memiliki data akurat terkait sektor penyumbang udara buruk.
Menurut Budi Gunadi, ada lima sektor yang menjadi fokus China dalam mengatasi udara buruk tersebut.
Kelimanya adalah pengendalian debu, pengendalian emisi industri, pemantulan risiko, pengendalian emisi transportasi, dan dampak polusi terhadap kesehatan.
Berdasarkan lima sektor ini, Menkes menyatakan bahwa pihaknya akan menangani pemantulan risiko dan dampak polusi pada kesehatan.
Sebab, selain bukan bidangnya, Menkes juga tak menginginkan adanya overlapping dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Persiapan Kemenkes
Dalam upaya mengatasi dua hal tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun menyiapkan sebanyak 740 fasilitas kesehatan.
740 fasilitas kesehatan ini terdiri dari 66 rumah sakit (RS), 674 puskesmas dan RS Umum Pusat Persahabatan di Jakarta yang akan menjadi Pusat Respirasi Nasional.
Selain itu, Kemenkes juga telah meminta organisasi profesi dan kolegium dokter spesialis paru untuk mendidik dokter-dokter di puskesmas agar memahami penyakit paru-paru.
Hal ini dilakukan karena Menkes menilai, salah satu penyakit dampak polusi udara seperti ISPA masih dapat ditangani oleh dokter di puskesmas dengan alat yang telah disiapkan.
Terdapat 333 puskesmas di Jakarta yang dapat menangani penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut ini.
Lalu, ada juga 38 puskesmas di Depok, 38 di Kota Bogor, 101 di Kab. Bogor, 48 di Kota Bekasi, 46 di Kab. Bekasi, 39 di Kota Tangerang, dan 44 di Kab. Tangerang.
Selain ISPA, dampak lain dari terpapar polusi udara adalah penyakit pneumonia atau yang biasa disebut paru-paru basah.
Penderita pneumonia diharuskan untuk melakukan pemeriksaan ke RS karena penyakit ini memerlukan rontgen.
Di samping itu, Menkes turut memastikan bahwa penanganan pneumonia dapat dilakukan oleh seluruh rumah sakit di Jabodetabek.