PARBOABOA, Jakarta – Tragedi Tanjung Priok yang terjadi 39 tahun silam masih membekas betul di benak Syaiful Hadi.
Ia yang ketika itu tengah menghadiri sebuah pengajian akbar yang diadakan di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara bersama sekitar 10 ribu orang dari Jabodetabek.
Mulanya, kata Syaiful, pengajian itu berjalan lancar. Jemaah khusyuk mendengarkan para ulama yang silih berganti memberikan tausiahnya.
Ketika Amir Biki, seorang tokoh masyarakat Tanjung Priok berceramah, ia menyelipkan ajakan membebaskan empat orang warga Tanjung Priok yang ditahan di Kodim 0502/Jakarta Utara. Ajakan dalam ceramah Amir Biki itu lantas membangkitkan gairah jemaah.
“Dia (Amir Biki) mengatakan 4 orang dari sahabat kita sekarang masih di Kodim, mari kita bebaskan! Disambut gemuruh massa, dan sangat antusias,” ujar Syaiful.
Namun, jemaah saat itu tak langsung bergerak menjemput 4 orang di Kodim Jakarta Utara. Massa menunggu hingga jam 10 malam, berharap 4 orang itu dibebaskan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan sendirinya.
“Pas jam 10 enggak ada, langsung serentak massa itu jalan ke Kodim,” kata Syaiful.
Syaiful pun tak menyangka ia dan massa lain bisa senekat itu ikut menjemput 4 orang di Kodim yang lokasinya tidak begitu jauh dari lokasi pengajian.
Syaiful yang tengah berada di kerumunan massa kebingungan, mau enggak mau ikut bergerak menuju Kodim.
"Kalau saya berhenti saya akan terinjak-injak, maka saya ikut jalan," ceritanya.
Massa pun terus bergerak menuju Kodim Jakarta Utara dan ketika sampai di depan Polres (yang letaknya tak jauh dari Kodim) laju massa terhenti. Mereka dihadang pasukan ABRI (saat ini TNI) lengkap dengan senjata laras panjang di tangan.
Menghindari bentrokan, massa pun duduk di jalan. Namun kemudian, terdengar suara instruksi dari pasukan ABRI, meminta massa mundur.
"Kalau enggak mundur akan ditembak," ucap Syaiful menirukan perintah ABRI.
"Setelah itu, barulah terjadi penembakan-penembakan itu. massa sebagian ada yang masuk got, sebagian itu melarikan diri ke belakang, kondisinya udah kocar-kacir," ungkapnya.
Syaiful pun lari menyelamatkan diri dari tembakan. Ia terinjak-injak, lantas bangun lagi dan lari menjauhi lokasi penembakan.
Dalam pelariannya, Syaiful melihat ada masjid dan memilih masuk dalamnya.
Ia lantas naik ke mercusuar masjid untuk bersembunyi dari kejaran ABRI. Dari atas masjid itulah Syaiful melihat kondisi di bawah yang begitu carut-marut.
"Kalau saya di dalam masjid aja pasti ketangkap juga. Saya pergi bersama adik saya dan rombongan 8 orang lain. Semuanya pulang kocar-kacir terpencar. Saling menyelamatkan diri masing-masing," ceritanya.
Malam itu, Syaiful terpaksa bermalam di masjid, ia menunggu kondisi di luar aman untuk pulang ke rumah.
Ditangkap dan Disiksa ABRI
Selang dua hari setelah tragedi, Syaiful didatangi ABRI. Rumahnya digerebek, semua sudutnya pun digeledah. Ijazah dan buku-buku milik Syaiful diangkut. Syaiful sendiri turut ditangkap, dibawa ke Kodim Jakarta Utara.
"Selama 2 hari di Kodim, saya digundulin, ditendang, dipukulin," ungkapnya.
Setelahnya, Syaiful lantas dibawa ke rumah tahanan di Jalan Kramat V. Di rumah tahanan itu, Syaiful dan tahanan lain di kasus Tanjung Priok dihajar habis-habisan.
Sehari berselang, Syaiful dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Guntur. Ia pun kembali disiksa dalam kondisi yang hanya mengenakan celana dalam. Tendangan dari aparat, masih ia rasakan.
Syaiful juga dipaksa mengakui tindakan yang tak pernah dilakukannya. Jika tidak, ia akan disiksa lagi.
"Setiap kami minta ampun, mereka selalu bilang, di sini enggak ada tuhan. Setiap hari selama satu minggu kami selalu mengalami penyiksaan," ceritanya.
Setelah seminggu di Guntur, Syaiful dan tahanan lain dibawa ke Rumah Tahanan Militer di Cimanggis, Kota Depok hingga sidang kasus Tanjung Priok di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sidang kasus Tanjung Priok itu berjalan nyaris 6 bulan, hingga akhirnya, majelis hakim memutus bebas Syaiful. Ia dinyatakan tidak bersalah dan diberikan hak untuk menuntut ganti rugi.
"Saya dibolehkan oleh hakim untuk menuntut ganti rugi. Saya jujur saja, ganti rugi itu sampai sekarang tidak ada, tidak terbukti!" kesal Syaiful.
Tragedi Tanjung Priok Tewaskan Puluhan Orang
Menurut temuan Komnas HAM, sebanyak 79 orang menjadi korban dengan 55 orang terluka dan 23 lainnya meninggal dunia akibat tindakan represif negara.
Selain itu, ratusan orang ditangkap tanpa proses hukum yang jelas dan beberapa di antaranya hilang.
Mereka yang ditangkap menghadapi berbagai tuduhan, mulai dari menyerang aparat, menghancurkan properti dan menyebarkan kabar bohong. Banyak dari mereka diancam pasal di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain itu, beberapa lainnya harus menghadapi tuduhan subversi, atau dakwaan yang dapat diganjar hukuman maksimal berupa hukuman mati, seperti yang diatur dalam Dekrit Presiden Nomor 11 Tahun 1963 atau dikenal dengan Undang-undang Anti Subversi.
Catatan Amnesty Internasional juga menyebut Tragedi Tanjung Priok pernah masuk proses hukum melalui Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta pada 2003.
Pada pengadilan tingkat pertama, 12 terdakwa dinyatakan bersalah dan negara diinstruksikan memberikan kompensasi, restitusi serta rehabilitasi kepada korban dan keluarganya.
Terdakwa lalu mengajukan banding dan di 2005 Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan terdakwa. Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, pada 2006 Mahkamah Agung menolak permintaan jaksa untuk membatalkan keputusan bebas tersebut, dengan alasan kasus itu bukan pelanggaran HAM.
Putusan bebas tersebut juga mencabut kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya, termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Jaksa saat itu gagal mengungkap peran pihak yang merencanakan, lemah dalam menyusun surat dakwaan dan tidak memberikan perlindungan yang memadai kepada saksi dan korban.
Di luar proses pengadilan, terdakwa bahkan menawarkan islah kepada korban dan saksi, yang mengakibatkan banyak dari mereka menarik kesaksian atau mencabut pernyataannya.
Editor: Kurniati