PARBOABOA, Jakarta - Sri Retno Purwaningsih (47) awalnya tak pernah terpikir akan terjun ke dunia politik sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Apalagi ia sadar perempuan merupakan kelompok minoritas di kancah perpolitikan Tanah Air.
Bagi Retno, semua alat politik di Indonesia telah dikuasai oleh laki-laki, termasuk di struktur partai politik. Tidak hanya itu, pengalamannya di serikat buruh turut membentuk pola pikirnya.
Retno mengaku, sejak berserikat di 2001, ia terbiasa dengan kepemimpinan laki-laki. Bahkan, sedikit sekali perempuan yang ambil bagian dalam kepengurusan.
“Dulu saya bertahun-tahun itu sendirian jadi pengurus perempuan di serikat. Saya ini merasa bahwa kelompok minoritas, bahkan di serikat pabrik teman-teman udah sering meminta saya jadi ketua tapi saya tidak mau,” ujar Retno kepada Parboaboa.
Retno pun sadar tak mudah bagi perempuan terlibat di politik atau hanya sekadar memperjuangkan haknya sebagai buruh. Misalnya saja di pabrik boneka barbie yang mayoritas pekerjanya perempuan saja, serikat tempatnya bekerja minim partisipasi kaum hawa.
Menurutnya, buruh perempuan masih terbelenggu dengan budaya patriarki di lingkungan keluarga, karena jarang ada yang mau ikut terlibat dalam pendidikan hak-hak buruh perempuan yang rutin digelar serikat Retno.
“Itulah orang Indonesia ya, perempuan kemana-mana harus izin suami. Ya, karena budaya patriarki kita, adat ketimuran kita dan pemahaman yang ditanamkan sejak kecil bahwa perempuan itu surganya ada di telapak kaki suami itu membuat perempuan takut melangkah,” tegas Retno.
Perempuan Caleg Minoritas
Retno mengaku dirinya didorong oleh pengurus Partai Buruh untuk maju sebagai caleg tingkat DPRD kota/kabupaten Bekasi, bukan karena keinginannya sendiri.
Dorongan dari partainya itu untuk memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Saya ditelepon pengurus Partai Buruh Kabupaten Bekasi, 'sist nyalon ya, soalnya kita kekurangan kader perempuan',” cerita Retno kala diminta partainya untuk maju sebagai caleg.
Mulanya Retno menolak, karena hatinya bimbang. Namun akhirnya ia pun terpaksa mau dicalonkan sebagai anggota DPRD, karena didorong rasa nasionalismenya saat menyerahkan berkas kelengkapan pencalonan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bekasi, Mei lalu.
“Waktu itu saya mendengar sambutan oleh KPU ditemani oleh 10 orang pengurus serikat. Saat itu saya diminta sambutan oleh KPU. Nah, di situlah rasa nasionalisme saya muncul—aneh memang,” kenang Retno.
“Dari sekian tahun saya di serikat, kayak ada rasa yang berbeda, nasionalisme saya muncul. Saya bilang gini dalam hati, oke mulai hari ini saya nggak akan main-main,” sambungnya.
Sejak saat itulah Retno bertekad untuk belajar sistem pemilu dan dunia perpolitikan Indonesia.
“Saya juga mulai bergerilya ke rumah-rumah warga untuk menyampaikan ide dan gagasan terhadap kemajuan kaum perempuan,” imbuhnya.
Retno pun merasakan ketimpangan tersebut. Ia bicara jujur bahwa minimnya caleg perempuan karena ketimpangan struktural di partai politik.
“Kan di kepengurusan partai laki-laki semua, kan mereka yang menentukan posisi elektoral di kepengurusan partai. Sepertinya laki-laki lebih suka yang memimpin laki-laki juga, saya melihatnya seperti itu,” ucapnya.
Di daerah pemilihannya, Kecamatan Cibitung dan Cikarang Barat, dari 8 caleg yang ada, hanya 2 sosok perempuan. Itu membuktikan bahwa perempuan berada di bawah bayang-bayang laki-laki.
Sementara dari aspek kultural, Retno menilai perempuan terbelenggu dengan budaya patriarki di lingkungan keluarga.
Pola pikir perempuan yang terbentuk di keluarga membuat mereka enggan terjun ke dunia politik, alih-alih menjadi pemimpin.
“Ya mungkin dari keluarganya mereka dididik untuk jadi perempuan rumahan. Mereka berpikir, gua perempuan, mau ngapain lagi sih? Ya udahlah gua udah ibu rumah tangga, gua udah bisa didik anak baik-baik, gua udah berpenghasilan, mau ngapain lagi sih?” jelas Retno.
Meski begitu, Retno merasa beruntung karena memiliki kesempatan maju sebagai caleg DPRD Kabupaten Bekasi.
Maju sebagai Caleg untuk Mengubah Nasib Buruh Perempuan
Sudah 26 tahun Retno bekerja di pabrik, ia pun hafal betul persoalan buruh perempuan, mulai hak cuti haid, cuti melahirkan, pelecehan seksual, hingga keamanan kerja.
Tak jarang ia juga mengadvokasi persoalan buruh perempuan tersebut, seperti kasus pelecehan buruh perempuan dengan berhasil mendesak perusahaan tempatnya bekerja untuk mengeluarkan pelaku.
“Kami di serikat sepakat bahwa pelaku pelecehan seksual tidak boleh diberi ruang di pabrik, apalagi dia merasa tidak bersalah,” jelas Retno.
Tak hanya itu, Retno juga pernah memperjuangkan agar buruh perempuan dapat mengakses toilet khusus dan ruang laktasi.
Ia pun tak pernah lelah mengedukasi perempuan supaya paham akan haknya sebagai pekerja.
Retno rutin menggelar forum diskusi yang membahas hak-hak perempuan, seperti hak cuti haid, karena menurutnya, masih banyak buruh perempuan yang awam dengan hak cuti haid.
“Cuti haid, itu kan diatur dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama), tapi mereka sungkan mengajukannya. Jadi, akhirnya menjadi isu kalau mau mengambil cuti haid susah. Karena gak ada kebiasaan mengambil cuti haid, jadi mereka takut jadi penilaian yang tidak bagus, takut menjadi nanti tidak dibayar,” jelasnya.
Retno menyoroti ihwal fasilitas publik Kabupaten Bekasi yang tidak ramah pada perempuan, seperti masih banyak halte bus yang kondisinya gelap tak beratap, itu sangat rawan bagi buruh perempuan yang ingin bekerja di malam hari.
Bahkan di Kabupaten Bekasi, lanjut dia, tidak ada angkutan umum khusus perempuan dan membuat perempuan rawan terkena pelecehan seksual.
Nantinya, Retno ingin mendorong pemerintah memperbaiki fasilitas publik agar lebih ramah terhadap perempuan.
“Itu yang membuat saya berpikir, keselamatan perempuan di ranah publik menjadi tanggung jawab siapa? Seharusnya pemerintah hadir,” tegasnya.
Di sisi lain, Retno juga bercita-cita bisa memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang tak bisa bekerja karena mengurus anak.
Ia mengaku miris melihat ibu-ibu di kawasan rumahnya yang tak punya kesempatan untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan keluarga. Pemerintah saat ini tak memberikan mereka kesempatan.
“Pemberdayaan ibu-ibu yang ingin menambah pendapatan suaminya melalui PKK. Bisa jualan online atau mengelola limbah rumah tangga menjadi uang. Tapi tentunya itu harus melalui pelatihan dulu sampai mereka bisa jalan sendiri,” ucap Retno.
Caleg Perempuan Kadang Sekedar Formalitas
Sementara bagi LSM pemerhati pemilu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai partai politik masih memandang caleg perempuan hanya sebatas formalitas untuk memenuhi kuota 30 persen.
Hal itulah, kata Peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi, yang membuat keterlibatan perempuan dalam pemilu masih minim, termasuk persoalan lain yang berkaitan dengan kultural Indonesia.
Aspek kultural itu, kata Nurul, terlihat pada minimnya representasi politisi perempuan di media. Apalagi berdasarkan pantauan Perludem, stasiun televisi di Indonesia lebih banyak menyoroti politisi laki-laki.
“Karena memang dari media tidak banyak memunculkan figur-figur perempuan. Kami memantau delapan stasiun televisi arus utama. Yang banyak dimunculkan adalah calon-calon laki-laki,” jelasnya.
Hasil penelitian Perludem menunjukkan keterwakilan perempuan dalam Pemilu Legislatif tahun 2014 dan 2019 masih minim.
Di 2014, hanya ada 97 perempuan yang berhasil melenggang menjadi anggota DPR RI. Sedangkan di tahun 2019 jumlahnya bertambah 21 orang, jadi 118 atau 20,5 persen dari 575 kursi DPR RI.