PARBOABOA, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden RI, Maruf Amin memiliki pandangan berbeda soal prinsip keberpihakan dan kampanye dalam Pemilihan Presiden (Pilpres).
Seperti diketahui bahwa Presiden Jokowi, baru-baru ini membuat pernyataan kontroversial yang menegaskan bahwa seorang presiden boleh mendukung kandidat tertentu dalam pilpres
Pernyataan itu menimbulkan perdebatan di kalangan publik, apalagi karena sebelumnya Jokowi, pada November 2024 lalu telah menyerukan kepada aparatur sipil negara untuk tetap netral.
Jokowi juga menyatakan bahwa seorang presiden memiliki hak dalam berkampanye di pemilihan umum (pemilu), bahkan menurutnya hal ini merupakan bagian dari hak demokrasi setiap individu, termasuk para menteri di Kabinet Indonesia Maju.
Saat berbicara di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024) lalu menekankan, yang terpenting bagi presiden adalah tidak menggunakan fasilitas negara saat berkampanye.
Sikap Jokowi ini berbeda dengan pendirian Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Dalam laman resmi Wakil Presiden RI, Jumat (26/1/2024), Ma'ruf menyatakan dirinya akan tetap netral meskipun aturan memungkinkannya untuk berkampanye.
Ma'ruf menegaskan komitmennya dalam mempertahankan sikap netral ini ke publik selama masa kampanye menjelang Pemilu 2024.
Selain itu ia juga menyampaikan bahwa dirinya akan menyimpan pilihannya sebagai rahasia pribadi dan tidak akan mengungkapkannya hingga saat pemungutan suara pada 14 Februari nanti.
Sikap netral kata Maruf, bukan berarti berbeda pendapat dengan Presiden.
Meski tidak eksplisit menanggapi pernyataan Jokowi tentang dukungan presiden terhadap kandidat tertentu, namun Ma'ruf menegaskan bahwa presiden memang diizinkan untuk berpihak dan berkampanye, yang di sisi lain juga memberikan kebebasan kepada publik untuk menilai sikap Jokowi tersebut.
Hingga kini, pernyataan Jokowi masih menjadi perdebatan publik tentang netralitas presiden dalam pemilu, mengingat perannya yang penting dalam dinamika politik.
Di sisi lain, sikap Ma'ruf yang lebih condong pada sisi netralitas, memberikan keragaman pendapat bagaimana pemerintah bertindak dalam konteks pemilu.