PARBOABOA, Pematangsiantar - Walikota Pematangsiantar, Susanti Dewayani, menjadi sorotan usai keputusannya membatalkan pelantikan lima Pegawai Negeri Sipil (PNS) ke posisi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP), pada Rabu (03/04/2024) lalu.
Pada kesempatan yang sama, Susanti juga membatalkan promosi dan mutasi 79 PNS ke dalam jabatan administrasi.
Perkumpulan Sumut Watch, melalui Koordinatornya, Daulat Sihombing, menuding Susanti sudah bertindak ceroboh dan meninggalkan skandal hukum akibat pembatalan pelantikan tersebut.
Menurut Daulat, jauh sebelum dilakukannya seleksi dan pengangkatan PNS, Susanti telah diperingatkan oleh publik tentang larangan untuk melakukan penggantian pejabat.
Aturan ini berlaku enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon kepala daerah sampai dengan akhir masa jabatannya, kecuali mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
"Maka, tidak ada alasan bagi walikota untuk tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang larangan itu," jelas Daulat melalui keterangan tertulisnya yang diterima PARBOBOA, Selasa, 16 April 2024.
Lebih lanjut, Daulat menjelaskan bahwa terbitnya Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 100.2.1.3/1575/SI hanya sebatas mengingatkan tentang larangan pada ketentuan pasal 71 UU No 10 Tahun 2016.
Susanti, jelasnya, sudah terlanjur terbelenggu nafsu kekuasaan dan lebih memilih mengorbankan 84 PNS untuk dibatalkan pelantikannya ketimbang dikenai sanksi.
Apalagi, menurut Daulat, Susanti digadang-gadang kembali maju dalam Pilkada November 2024 mendatang.
"Maka, timbul rasa kecut dan harus memilih, daripada kelak dikenai sanksi calon walikota petahana," kata Daulat.
Selain itu, melalui keterangan yang sama, Sumut Watch, yang berfokus pada advokasi kebijakan publik, turut menyoroti sejumlah kebijakan kontroversial Susanti selama menjabat walikota.
Di antaranya, saat masih berstatus Plt, Susanti menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada 31 Maret 2022. Kemudian, menjelang akhir masa jabatannya, Susanti kembali menaikkan NJOP untuk tahun 2023-2026 sebesar lebih dari 1000%.
Konkretnya, ungkap Daulat, masyarakat yang melakukan transaksi jual beli atas tanah dan bangunan atau melakukan sertifikat tanah harus membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang sangat mahal karena naik 2000%, kecuali Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)-P2 yang diberikan stimulus 90%.
"Ini catatan buram tentang legacy (warisan) Susanti yang menyedihkan," tulis Daulat.
Sebelumnya, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Pematangsiantar, dalam keterangannya, menyebut pembatalan pelantikan merupakan tindak lanjut SE Mendagri tanggal 29 Maret 2024.
Dengan demikian, semua pejabat yang telah dilantik pada 22 Maret 2024 akan kembali ke posisi sebelumnya, dan semua konsekuensi hukum dari pengangkatan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi pasca pembatalan.
Sementara itu, Akademisi Universitas Simalungun, Muldri P.J. Pasaribu, kepada PARBOBOA, mengatakan bahwa pertimbangan walikota tentang kesalahan prosedur dalam SK tersebut berbahaya dan berpotensi memicu gugatan Tata Usaha Negara (TUN) maupun angket DPRD Pematangsiantar.
Editor: Norben Syukur