PARBOABOA, Jakarta - Agresi militer Israel ke Palestina yang telah berlangsung sejak Oktober 2023 membuat konflik di Timur Tengah semakin meluas.
Baru-baru ini, terjadi aksi saling serang antara Israel dan milisi Houthi dari Yaman.
Pada Jumat, 19 Juli lalu, milisi Houthi melancarkan serangan pesawat nirawak atau drone ke ibu kota Israel di Tel Aviv.
Juru bicara Houthi, Mohammed Abdulsalam mengatakan, tujuan serangan tersebut untuk mendukung warga Palestina Jalur Gaza yang saat ini terus dibombardir Israel.
Abdulsalam juga menegaskan bahwa tujuan Israel menguasai Palestina hanya mimpi belaka, dan Houthi tidak akan berhenti mendukung warga Palestina di Jalur Gaza.
Serangan drone Houthi ke ibu kota Israel, Tel Aviv ini cukup mengejutkan, karena mampu menerobos pertahanan Israel dan memicu ledakan di Shalom Aleichem yang lokasinya berdekatan dengan gedung konsulat Amerika Serikat.
Akibat serangan ini, satu orang dari Israel tewas dan 10 lainnya terluka.
Milisi Houthi, lewat juru bicaranya, Yahya Saree mengeklaim drone jenis baru "Jaffa" diklaim mampu melewati sistem pencegat dan tak terdeteksi oleh radar.
Keesokan harinya, Israel membalas serangan drone Houthi Yaman dengan menyerang gudang penyimpanan bahan bakar dan pembangkit listrik di Hodeidah, sebuah kota pelabuhan di Yaman.
Imbasnya, sekitar 80 warga Hodeidah luka, terjadi kebakaran besar dan terputusnya aliran listrik di kota itu.
Israel juga mengeklaim militernya menjadi dalang di balik serangan ke Yaman sekaligus pesan untuk milisi Houthi.
Aksi saling serang Israel dan milisi Houthi ini juga membuat sejumlah negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir dan Iran was was.
Arab Saudi misalnya, mengeklaim negaranya tidak terlibat sama sekali dengan serangan Israel tersebut. Juru bicara militer Saudi, Turki Al-Malki menyebut, negaranya juga melarang wilayah udaranya digunakan Israel atau Amerika untuk melancarkan serangan.
Sementara Mesir langsung mengeluarkan pernyataan dan mengaku khawatir terkait operasi militer di Yaman.
Sedangkan pemerintah Iran mengutuk keras serangan Israel ke Hodeidah yang akhirnya mengungkap sifat asli Israel sebagai pembunuh anak-anak.
Indonesia Pantau Situasi WNI di Yaman
Aksi saling serang Israel dan milisi Houthi ini turut memicu kekhawatiran terkait keberadaan warga negara Indonesia (WNI) di Yaman, khususnya di kota pelabuhan Hodeidah.
Meski begitu, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia mengaku telah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Muscat (ibu kota Yaman) untuk memantau situasi terkini warga negaranya.
Sebanyak 19 orang TNI yang dilaporkan tinggal di Hodeidah.
Dalam keterangan resminya, Direktur Jenderal Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Judha Nugraha menegaskan, tidak ada WNI yang menjadi korban serangan Houthi-Israel tersebut.
Siapa Milisi Houthi?
Houthi merupakan kelompok gerakan Islam politik-bersenjata berhaluan Syiah di Yaman Utara pada 1990. Mereka mendapat dukungan Iran.
Mulanya, Houthi terbentuk untuk membina organisasi Syiah di kalangan muda, Pemuda Zaydi dan menawarkan pelayanan pendidikan, kesejahteraan sosial dan persaudaraan. Bahkan, gerakan ini memperoleh dukungan penuh pemerintah Yaman.
Seiring berjalannya waktu, jaringan Houthi kerap melakukan protes dan menentang Presiden Ali Abdullah Saleh. Kondisi itu membuat hubungan Houthi dan pemerintah memanas.
Puncaknya, saat Presiden Saleh mendukung program Amerika serikat dengan melakukan invasi ke Irak pada 2023. Dukungan pemerintah Yaman kepada Amerika itu dianggap mencabut hak kaum Zaid dan mengancam tradisi kaum Houthi hingga membuat perang saudara.
Kemudian, pada 2014, Houthi melancarkan kudeta terhadap Presiden Mansur Hadi dan menduduki Ibu Kota Sanaa.
Peristiwa ini menjadi awal mula pecahnya perang sipil di Yaman pecah yang masih berlangsung hingga kini.
Saat ini Houthi masih menduduki ibu kota dan mengklaim sebagai pemerintah yang berkuasa di Yaman.