PARBOABOA, Pematangsiantar – Dua aksi yang dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa dan Rakyat Untuk Perubahan (GEMURUH) rupanya tak berhasil meluluhkan Wali Kota Pematangsiantar, Susanti Dewayani.
Alhasil, Gerakan Mahasiswa dan Rakyat Untuk Perubahan (GEMURUH) kembali turun ke jalan hari ini, Jumat (23/2/2024).
Demonstrasi yang dimulai sekitar pukul tiga sore itu berlangsung di depan kantor Kejaksaan Pematangsiantar, diikuti sekitar 30 peserta, termasuk ibu-ibu berusia paruh baya dan mahasiswa.
GEMURUH menyerukan respons dari pihak Kejaksaan, dengan harapan agar kasus ini dapat diteliti dan diselesaikan secara menyeluruh.
"Kami menduga adanya kongkalikong dengan Dinas Sosial terkait kasus e-warung," ungkap Ketua PMII Siantar-Simalungun, Khairil Mansyah Sirait (21), dalam orasinya di depan kantor Kejaksaan.
Kasubsi Intelijen Kejaksaan Pematangsiantar, Lamhot Siburian, akhirnya merespons aksi dengan menyatakan kesediaannya untuk menindaklanjuti semua temuan dan dugaan pelanggaran yang disampaikan.
Ia juga meminta kerjasama dari mahasiswa dan masyarakat untuk menyediakan bukti yang diperlukan.
Setelah mendapatkan tanggapan dari Kejaksaan, peserta aksi beralih ke Kantor Kepolisian Resor (Polres) Pematangsiantar, menuntut respons atas laporan yang telah mereka ajukan sebulan yang lalu.
Namun, Kapolres Pematangsiantar, AKBP Yogen Heroes Baruno, tak kunjung datang menemui mereka, yang berujung pada pembakaran ban oleh mahasiswa.
Presidium GEMURUH, Chotibul Umam Sirait, menyampaikan dalam orasinya bahwa api yang menyala dari ban tersebut merupakan bentuk amarah dari kebungkaman wali kota.
Meski begitu, aksi ini tidak menimbulkan keributan atau kerusuhan. Setelah demonstrasi berakhir, para peserta bahkan membersihkan sisa-sisa pembakaran ban.
Umam juga menambahkan bahwa mereka sebenarnya berencana melakukan aksi di depan kantor walikota hari ini, namun hari sudah sore.
"Kami akan melanjutkannya di lain hari," katanya kepada PARBOABOA, Jumat (23/2/2024).
Pernyataan Sikap GEMURUH
GEMURUH terhitung sudah tiga kali turun ke jalanan, yakni pada Kamis (25/1/2024), Senin (29/1/2024), dan hari ini, dengan tuntutan yang sama.
Mereka menyoroti perlunya evaluasi konsisten terhadap program Perlindungan Sosial Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) oleh Kementerian Sosial RI, mengingat potensi penyalahgunaan yang ada.
GEMURUH mengungkapkan bahwa penyalahgunaan program bantuan ini masih sering terjadi di Kota Pematangsiantar, dengan bukti penyimpangan seperti intimidasi oleh relawan kelurahan terhadap Keluarga Penerima Manfaat (KPM), keberadaan e-warung yang seharusnya dilarang, dan eksploitasi politik terhadap KPM oleh partai politik tertentu.
Padahal, Kemensos telah mengeluarkan Peraturan Menteri Sosial RI No. 5 Tahun 2021, bertujuan untuk memantau dan mengendalikan efektivitas kedua program tersebut.
Oleh karena itu, GEMURUH menuntut tiga perbaikan utama, yakni penghapusan relawan kelurahan yang dianggap ilegal, penutupan e-warung yang masih beroperasi, dan penghentian eksploitasi politik terhadap KPM.
Mereka juga menuntut pemerintah kota Pematangsiantar untuk menghapuskan relawan kelurahan, mengganti Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), mengevaluasi tugas dari Dinas Sosial, Camat, dan Lurah, serta menghentikan segala bentuk eksploitasi politik.
Desakan terhadap kepolisian pun turut dilakukan untuk menyelidiki kasus e-warung dan menangkap 121 relawan ilegal yang teridentifikasi.
Dengan pernyataan ini, GEMURUH menekankan pentingnya melindungi masyarakat miskin dari intimidasi dan perilaku tidak etis.
Harapan mereka adalah untuk mendapatkan respons positif dari Walikota dan Kapolres Pematangsiantar, agar keadilan dan integritas program pemberdayaan masyarakat dapat dijaga.
Awal Mula Dibentuknya GEMURUH
Dua bulan yang lalu, sejumlah ketua Kader Pembangunan Manusia (KPM) berkunjung ke kampus STIE Samora di Pematangsiantar, yang secara kebetulan memiliki Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Para ketua KPM, yang semuanya perempuan, memaparkan masalah penyalahgunaan bantuan sosial yang telah mereka keluhkan langsung kepada Pemerintah Kota Pematangsiantar namun tanpa mendapat respon.
"Kami dengarkan keluhan mereka. Ternyata masalah yang mereka hadapi rumit," kata Umam pada PARBOABOA.
Dia menyadari bahwa masalah yang dihadapi oleh para perempuan ini berdampak pada program pemerintah dan demokrasi, karena masyarakat merasa ditipu dan dimanipulasi, terutama rakyat miskin dalam distribusi bantuan sosial.
Awalnya, ia menyarankan mereka untuk melapor ke Polres tentang masalah tersebut. Namun, mereka merasa takut berhadapan dengan polisi, walaupun mereka yakin keluhan mereka itu berdasar.
Umam, seorang dosen berusia 23 tahun, kemudian mengajak para mahasiswa Samora untuk berdiskusi. Para perempuan itu setuju untuk tetap bertindak, kali ini bersama mahasiswa.
Maka terbentuklah GEMURUH (Gerakan Mahasiswa dan Rakyat Untuk Perubahan), sebuah gerakan yang menyatukan rakyat dan mahasiswa dengan Umam sebagai presidiumnya.
Sampai saat ini, GEMURUH telah melakukan tiga aksi. Mengingat aksi pertama dan kedua berlangsung di tengah kampanye pemilihan umum 2024, gerakan yang melibatkan para perempuan ini sempat dituduh sebagai kendaraan politik salah satu partai.
Namun, Umam menganggap prasangka tersebut sebagai sesuatu yang wajar.
"Apa pun prasangka dari pihak luar tentang GEMURUH, kami harus tetap fokus pada kekhawatiran dan keadilan bagi ibu-ibu yang terkena dampak karena masalah ini," tegasnya.
Umam menekankan pentingnya menyelesaikan masalah ini secara menyeluruh. Jika tidak, para perempuan tersebut akan merasa lebih terpinggirkan. Ditambah, PKH mereka yang ikut aksi mengalami pemutusan dengan dasar yang tak jelas.
"Jika kami tiba-tiba menghilang tanpa penyelesaian yang jelas, ibu-ibu tersebut bisa semakin terabaikan. Mereka berharap pada kami dan kami harus berusaha untuk membantu mereka bertemu walikota," ujarnya.
Sebelum melakukan aksi ketiga ini, Umam dan rekan-rekan mahasiswa sempat bingung tentang langkah apa yang harus diambil selanjutnya. Mereka berusaha menghindari bentrokan dengan Satpol PP, yang bisa memperumit masalah.
Dengan pergerakan ini, Umam dan mahasiswa memilih untuk menanggung ancaman. Sebagaimana mahasiswa sudah biasa mendapat ancaman dalam berbagai situasi.
Rupanya, setelah dua aksi yang dilakukan, Umam sudah dua kali menerima surat klarifikasi dari relawan.
Surat tersebut meminta klarifikasi terkait tuntutan GEMURUH terhadap adanya intimidasi terhadap masyarakat dengan ditiadakannya e-warung.
"Di surat klarifikasi kedua, relawan menyatakan bahwa jika surat pertama tidak saya jawab, mereka akan melaporkan saya. Padahal sudah duluan pun mereka laporkan sebelum datang surat kedua tersebut," katanya.
Editor: Yohana